Saturday, April 28, 2012

bagaimana cara menjaga hubungan kekeluargaan Tanpa Ikhtilat (Campur Baur Laki Laki Dengan Wanita)?

Pertanyaan:
Saya telah membaca terkait dengan fatwa di website anda ini khusus masalah ikhtilat (campur bawur laki-laki dan wanita). Saya berkeyakinan disana ada sebagian kontradiksi. Saya yakin ini adalah suatu kesalahan menurut keyakinanku. Sebagai contoh dalam islamqa.info , anda sebutkan bahwa lelaki tidak diperbolehkan mengajar para wanita kecuali di belakang penutup. Kemudian anda sebutkan di islamqa.info, bahwa para wanita diperbolehkan mengajar di Universitas yang bercampur bawur (ikhtilad) kalau kondisi sosialnya mengharuskan begitu.
Sementara saya hidup di Maroko dimana ikhtilan merupakan fenomena diantara fenomena kesehari-harian. Baik diantara keluarga dan kerabat atau dengan orang-orang di jalanan. Tidak seorangpun yang mengingkari hal ini. Sampai para imam masjid mengatakan hal itu diperbolehkan. 


Tanpa penjelasan ketentuan ikhtilat ini, dan masalah ini saya tidak setuju dengannya pada semuanya.
Sekarang pertanyaanku adalah disana ada sebagian orang mempertanyakan dan mengatakan bagaimana seseorang memungkinkan untuk menjaga hubungan kekeluargaan kalau tanpa adanya pertemuan diantara mereka dalam kondisi campur bawur? Mana yang dikedepankan, apakah menjaga hubungan kekeluargaan atau dalam ikhtilat (campur bawur)?. Benar mungkin kita menghindari ikhtilat ketika kita mengundang kerabat ke rumah kita, akan tetapi bagaimana kalau kita pergi ke rumah mereka? Hal itu tidak memungkinkan menjauhi ukhtilat pada kondisi seperti ini. Fitnah pasti akan ada, bagaimana kita mensikapinya? Apakah kita menolak undangan mereka? Dan siapa mereka secara pasti termasuk anggota keluarga yang harus dijaga hubungan dengannya? Apakah mereka anak-anak paman dari bapak dan ibu termasuk di dalamnya? Saya tidak tahu bagiamana seseorang memungkinkan menjauhi masalah terkait dengan ikhtilat, akan tetapi saya percaya bahwa kewajiban kita mencurahkan segenap tenaga untuk menjauhi hal itu. saya mohon arahan terkait dengan yang tadi (kami jelaskan) terima kasih.


Jawaban:
Alhamdulillah
Sesuatu yang bagus –wahai penanya yang mulia- bahwa anda berkeyakinan bahwa diantara kewajiban kita adalah mencurahkan segenap tenaga kita untuk menjauhi ikhtilat yang haram itu. mohon maaf, kami ingin katakan kepada anda, bahwa kami kurang setuju hanya menjaga hubungan kekeluargaan saja, bahkan kami juga mengajak untuk hal itu, menganjurkannya. Karena hal itu termasuk silaturrohim yang Allah dan RasulNya perintahkan kepada kita. Akan tetapi  yang lebih penting dari hal itu adalah perlu anda ketahui penanya bahwa kedua masalah itu tidak bertentangan sama sekali. Memungkinkan anda menjauhi dari ikhtilat yang diharamkan, dan memungkinkan juga anda menyambung kekerabatan. Syareat telah datang dengan keduanya, maka tidak mungkin keduanya saling berbenturan.

Maka dari itu, prilaku anda di negara anda, yaitu prilaku secara umum menjaga keduanya. Pada kebanyakan negara yang marak di dalamnya ikhtilat. Sebagaimana marak di negara anda. Meskipun begitu mereka memungkinkan melewati hal itu. dan melaksanakan kehidupannya secara normal. Akan tetapi hendaknya pada seseorang keinginan kuat yang cukup untuk hal itu serta menjaganya. Kalau sekiranya anda mengunjungi kerabat anda –sebagai contoh- apa yang anda lakukan di rumah anda dengan mengkhususkan tempat duduk khusus untuk para wanita, dan tempat lain khusus untuk para lelaki. Penjagaan anda akan hal itu, akan memudahkan pelaksanaannya ketika anda mengunjungi rumah orang lain. Ketika mereka mengetahui penjagaan anda akan hal ini, meskipun sempit rumahnya.

Sementara pertemuan tidak sengaja di jalan, di tempat masuk rumah kalau sekiranya punya satu pintu masuk atau semisal itu. dalam ajaran agama tidak ada larangan akan hal ini, begitu juga tidak keras dalam masalah ini. Akan tetapi ada kehati-hatian dalam masalahnya agar tidak kembali ke kondisi semula, tidak juga seseorang ada kesengajaan kalau memungkinkan dijauhinya.
Terakhir kali, anda perlu ketahui –wahai hamba Allah- sesungguhnya surga itu memerlukan kerja keras, capai dan kesungguhan. Karena surga didekatkan dengan sesuatu yang tidak disukai. Yakni dengan masalah-masalah rumit yang tidak disukai oleh nafsu. Akan tetapi seseorang memerlukan kesabaran dalam ketaatan kepada Tuhannya. Dan ia termasuk bentuk kesabaran yang agung. Dan menjaga untuk melakukan kebaikan agar mendapatkan taufik dari Allah. sungguh Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: 

«إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، وَمَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطَهُ، وَمَنْ يَتَّقِ الشَّرَّ يُوقَهُ» رواه الطبراني في الاوسط ( 2663 ) وحسنه الألباني .

“Sesungguhnya ilmu itu dengan belajar, sesungguhnya sifat hilm (lemah lembut) dengan belajar berlemah lembut, barangsiapa yang mencari kebaikan, maka akan diberikan. Dan barangsiapa menjaga kejelekan, maka dia akan dilindungi.’ HR. Tobroni di ‘Al-Ausath, 2663 dan dihasankan oleh Al-Albany. 

Sumber: islamqa.info 


Monday, April 23, 2012

Hikmah Di Balik Asinnya Air Laut

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِن كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ فِيهِ مَوَاخِرَ لِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 

”Dan tidaklah sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu pakaip, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (QS. Faathir: 12)


Penjelasan Ilmiah

Jika salah seorang di antara kita mengunjungi pabrik pembuatan es krim, niscaya akan didapati bahwa pembekuan es krim dengan menggunakan es saja tidak cukup karena es tidak dapat mendinginkan hingga di bawah 0 (nol) derajat celcius. Oleh karena itu, para pekerja mencampurkan garam ke dalam es, sehingga membentuk campuran cairan asin yang meleleh pada derajat di bawah nol derajat (yang perlu diperhatikan bahwa pendinginan dengan cara ini –yaitu peningkatan konsentrasi garam- tidak dapat dilakukan sampai suhu di bawah 12 derajat celcius). Dan pengamatan sederhana ini termasuk hal yang penting yang terjadi di perairan laut.

Maka keberadaan kadar garam di laut ini membuat air laut baru membeku pada derajat di bawah 0 (nol) derajat, suatu hal itu yang memungkinkan air laut tetap mengalir/tidak beku (karena ia cair) pada derajat kurang dari 10 derajat. Sehingga hal itu memudahkan pelayaran pada musim dingin pada waktu yang lebih lama (karena air laut tidak membeku pada suhu di bawah nol derajat). Sementara kita mencermati bahwa air sungai telah membeku pada musim dingin.

Dan ini, di samping keadaan air garam yang memmudah binatang, ikan, dan manusia untuk berenang, karena ia (air garam) memperingan berat badan. Sebagaimana salinitas (kadar garam) laut berfungsi untuk mensterilkan air, sehingga mencegah terjadinya pembusukan, dan perkembangbiakan penyakit. Kalau tidak demikian niscaya laut menjadi menjadi pusat (markas) yang baik bagi wabah dan penyakit yang menyebar ke seluruh negara dan bangsa.

Dan kita dapati diri kita berada dalam keheranan ketika kita mengingat bahwa dari benda cair ini (air), Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan segala jenis makhluk, sebagai bukti dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ (30) 

””Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)

Maka air masuk ke dalam komposisi beberapa tumbuhan dengan kadar 99%, sedangkan pada manusia dan hewan terkadang kadarnya lebih dari 75 %. Air masuk ke dalam komposisi semua unsur cairan dalam tubuh (seperti darah merah, getah bening/sel darah putih, dahak, hormon, berbagai jenis kelenjar dan lain-lain). Dan jika jumlah air dalam tubuh berkurang, maka cairan tubuh ini dianggap tidak lagi mampu berpartisipasi secara khusus dalam tubuh tersebut. Dan dimungkinkan bagi manusia untuk tetap hidup tanpa makanan dalam waktu satu bulan atau lebih, akan tetapi dia tidak bisa hidup tanpa air lebih dari beberapa hari.


(Sumber:ملوحة البحار dari http://www.bytocom.com/vb/showthread.php?t=34213. Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu YusufSujono)

Wednesday, April 18, 2012

Hukum Menghadap Kiblat Ketika Membaca al-Qur'an

Pertanyaan:
 
Apakah wajib menghadap kiblat ketika membaca al-Qur-an?

Jawaban:

 Sudah selayaknya menghadap kiblat ketika membaca al-Qur-an, karena hal itu adalah ibadah, dan ibadah di sukai padanya menghadap kiblat, jika hal itu tidak menyusahkan maka menghadap kiblat adalah sebagai penyempurna (dari ibadah yang dia lakukan -red), jika ia tidak menghadap kiblat, maka tidak ada dosa baginya.

[Sumber: Al-Muntaqa Min Fatawa fadilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, jilid 2]

Sunday, April 15, 2012

Kapan Bersiwak Ketika Seseorang Ingin Berwudhu?

Pertanyaan:
 
Saya ingin tahu hukum menggunakan siwak ketika berwudhu, apakah yang terbaik itu menggunakannya setelah atau sebelum berwudhu? Semoga Allah memberkahi Anda.

Jawaban:

Alhamdulillah
Para ulama telah bersepakat bahwa penggunaan siwak adalah ketika berwudhu. Hal itu berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ  (رواه البخاري تعليقاً ، ورواه ابن خزيمة في “صحيحه” ، رقم 140 وصححه الألباني في “إرواء الغليل” 1/109)

“Jika tidak memberatkan umatku, (pasti) akan aku perintahkan mereka (mempergunakan) siwak pada setiap kali berwudhu.” (HR. al-Bukhari secara mu’alaq dan diriwayatkan Ibnu Huzaimah dalam Shahihnya, no. 140. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwaul Ghalil, 1/109)

Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 9612 dengan redaksi,  “Jika tidak memberatkan umatku, maka (pasti) akan aku perintahkan (menggunakan) siwak pada setiap waudhu.” (Dishahihkan oleh al-Albany dalam Shahih al-Jami’, 5317)

Ibnu Nujaim rahimahullah berkata,
‘Mereka berbeda pendapat tentang waktunya, dalam kitab An-Nihayah dan Fathul Qadir (kitab rujukan mazhab Hanafi) bahwa (siwak) itu ketika berkumur (madmadhoh). Sementara dalam kitab Al-Badai dan Al-Mujtaba, sebelum wudhu. Kebanyakan (mengambil pendapat) pertama dan itu yang lebih utama karena itu lebih sempurna dalam membersihkan.’ (Al-Bahru ar-Raiq, 1/21)
Az-Zarkasyi rahimahullah berkata,

‘Ditekankan anjuran bersiwak di beberapa tempat di antaranya ketika shalat dan ketika berkumur (madmadhoh) dalam wudhu.’ (Syarhu az-Zarkasyi, 1/30)

As-Syarwani rahimahullah berkata, ‘Yang dilakukan oleh pengarang –yakni Ibnu Hajar Al-Haitsami- mengikuti sekelompok bahwa (siwak) itu sebelum berbasmalah. Yang jadi pegangan bahwa tempatnya itu setelah membersihkan kedua telapak tangan dan sebelum berkumur.’ (Hawasyi As-Syarwani, 1/221)

Akan tetapi masalahnya bersifat luwes, karena tidak ada dalil yang jelas dari sunnah akan penentuan waktunya.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Siwak dengan wudhu itu ketika berkumur, karena ini adalah tempat membersihkan mulut. Dan siwak untuk membersihkan mulut sebagaimana telah ada (hadits) shahih dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

السواك مطهرة للفم مرضاة للرب
“.Siwak itu pembersih mulut dan mendapat keredhaan Tuhan”

Maka siwak bersamaan ketika berkumur. Kalau anda ingin, boleh saja bersiwak setelah berwudhu atau sebelum berwudhu. Akan tetapi yang lebih utama adalah bersamaan dengan berkumur.’ (As-Syarhu al-Mukhtashar Ala Bulughil Maram, 2/44

Beliau juga mengatakan, ‘Para ulama mengatakan, tempat (bersiwak) ketika berkumur.  Karena berkumur itu tempat untuk membersihkan mulut. Maka waktunya ketika berkumur. Kalau tidak mudah waktu seperti itu, maka setelah berwudhu. Masalah ini adalah luas.’ (Liqa Al-Bab al-Maftuh, 31/133)

Dari perkataan Syaikh al-Albany rahimahullah tampaknya beliau berpendapat bahwa siwak dilakukan sebelum membaca basmalah waktu wudhu. Maka beliau mengatakan, ‘Caranya –yakni berwudhu- bersiwak, berbismilah, membersihkan kedua telapak tangan tiga kali, keduanya itu sunnah- berkumur dan istinsyaq (memasukkan air ke hidung) dan istinsyar (mengeluarkan air dari hidung).’ (At-Tsimar al-Mustathab, hal. 9)

Wallahu’alam.

 [Sumber: Soal Jawab Tentang Islam di www.islamqa.com]

Thursday, April 12, 2012

Perbedaan Hadats dan Najis

Tanya: jelaskan perbedaan hadast dan najis

Jawab:

Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat.  Dia terbagi menjadi dua:
  1. Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan 
  2. Hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama ‘pembatal wudhu’.
Adapun najis maka dia adalah semua perkara yang kotor dari kacamata syariat, karenanya tidak semua hal yang kotor di mata manusia langsung dikatakan najis, karena najis hanyalah yang dianggap kotor oleh syariat. Misalnya tanah atau lumpur itu kotor di mata manusia, akan tetapi dia bukan najis karena tidak dianggap kotor oleh syariat, bahkan tanah merupakan salah satu alat bersuci.

Najis terbagi menjadi tiga:
  1. Najis maknawiah, misalnya kekafiran. Karenanya Allah berfirman, “Orang-orang musyrik itu adalah najis,” yakni bukan tubuhnya yang najis akan tetapi kekafirannya.
  2. Najis ainiah, yaitu semua benda yang asalnya adalah najis. Misalnya: Kotoran dan kencing manusia dan seterusnya.
  3. Najis hukmiah, yaitu benda yang asalnya suci tapi menjadi najis karena dia terkena najis. Misalnya: Sandal yang terkena kotoran manusia, baju yang terkena haid atau kencing bayi, dan seterusnya.
Dari perbedaan di atas kita bisa melihat bahwa hadats adalah sebuah hukum atau keadaan, sementara najis adalah benda atau zat. Misalnya: Buang air besar adalah hadats dan kotoran yang keluar adalah najis, buang air kecil adalah hadats dan kencingnya adalah najis, keluar darah haid adalah hadats dan darah haidnya adalah najis.

Kemudian yang penting untuk diketahui adalah bahwa tidak ada korelasi antara hadats dan najis, dalam artian tidak semua hadats adalah najis demikian pula sebaliknya tidak semua najis adalah hadats.

Contoh hadats yang bukan najis adalah mani dan kentut. Keluarnya mani adalah hadats yang mengharuskan seseorang mandi akan tetapi dia sendiri bukan najis karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah shalat dengan memakai pakaian yang terkena mani, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah. Demikian pula buang angin adalah hadats yang mengharuskan wudhu akan tetapi anginnya bukanlah najis, karena seandainya dia najis maka tentunya seseorang harus mengganti pakaiannya setiap kali dia buang angin.

Contoh yang najis tapi bukan hadats adalah bangkai. Dia najis tapi tidak membatalkan wudhu ketika menyentuhnya dan tidak pula membatalkan wudhu ketika memakannya, walaupun tentunya memakannya adalah haram.

Jadi, yang membatalkan thaharah hanyalah hadats dan bukan najis.
Karenanya jika seseorang sudah berwudhu lalu dia buang air maka wudhunya batal, akan tetapi jika setelah dia berwudhu lalu menginjak kencing maka tidak membatalkan wudhunya, dia hanya harus mencucinya lalu pergi shalat tanpa perlu mengulangi wudhu, dan demikian seterusnya.

Kemudian di antara perbedaan antara hadats dan najis adalah bahwa hadats membatalkan shalat sementara najis tidak membatalkannya. Hal itu karena bersih dari hadats adalah syarat syah shalat sementara bersih dari najis adalah syarat wajib shalat. Dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudri dimana tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam- sedang mengimami shalat, Jibril memberitahu beliau bahwa di bawah sandal beliau adalah najis. Maka beliau segera melepaskan kedua sandalnya -sementara beliau sedang shalat- lalu meneruskan shalatnya. Seandainya najis membatalkan shalat tentunya beliau harus mengulangi dari awal shalat karena rakaat sebelumnya batal. Tapi tatkala beliau melanjutkan shalatnya, itu menunjukkan rakaat sebelumnya tidak batal karena najis yang ada di sandal beliau. Jadi orang yang shalat dengan membawa najis maka shalatnya tidak batal, akan tetapi dia berdoa kalau dia sengaja dan tidak berdosa, kalau tidak tahu atau tidak sengaja.

Kesimpulan:
Dari uraian di atas kita bisa memetik beberapa perbedaan antara hadats dan najis di kalangan fuqaha` yaitu:
  1. Hadats adalah hukum atau keadaan, sementara najis adalah zat atau benda.
  2. Hadats membatalkan wudhu sementara najis tidak.
  3. Hadats membatalkan shalat sementara najis tidak.
  4. Hadats diangkat dengan bersuci (wudhu, mandi, tayammum), sementara najis dihilangkan cukup dengan dicuci sampai hilang zatnya.

Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam.
____________

Tanya jawab: 
Assalamu’alaikum, ustad
saya mau bertanya nih…
kalau misalnya celana yang kita pakai terkena najis,atau percikkan saat kencing, sah kah jika di pakai sholat ? jika tidak, sah kah jika dipakai sholat, tetapi di doble ( ditutup ) pakai sarung ?
mohon penjelasannya ustad… syukron…
Waalaikumussalam.
Shalatnya tetap syah pada kedua keadaan di atas, akan tetapi dia berdosa besar. Karena tidak membersihkan najis.
Silahkan melihat tanya jawab lainnya di link berikut:  http://al-atsariyyah.com/perbedaan-hadats-dan-najis.html
___________

Baca :   

Wednesday, April 11, 2012

Kapan Usia Yang Cocok Mengajarkan Anak Pendidikan Seks?

Pertanyaan: 
 Kapan usia yang cocok mengajarkan anak pendidikan seks?

Jawaban:

Alhamdulillah.

Pertama:
Wahai saudara penanya, hendakan kita mengetahui bahwa anak adalah tanggungjawab orang tua. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 

 كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ : الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا (رواه البخاري، رقم  853 ومسلم، رقم  1829 ) 

"Semua kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang orang-orang yang kalian pimpin. Kepala negara adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang bapak pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang ibu pemimpin di rumah suaminya." (HR. Bukhari, no. 853, Muslim, 1829)

Di antara bentuk tanggung jawab yang dipikul orang tua terhadap anak-anak mereka adalah mencegah mereka dari segala sesuatu yang dapat merusak mereka atau memberi pengaruh negative terhadap mereka. 

Kedua:
Sebagaimana diketahui bahwa pengajaran pendidikan seksual di kalangan barat telah berlebih-lebihan dan menjadi pusat perhatian sehingga dijadikan salah satu materi pelajaran di sekolah atau acara televisi, bahkan seminar dan konferensi. Ironisnya, budaya ini cukup mempengaruhi muslimin, khususnya mereka yang terpedaya dengan wawasan dan budaya barat. 

Tidak diragukan lagi bahwa mengajarkan permasalahan-permasalahan seksual atau hal-hal terkait dengannya terhadapa anak sejak dini memiliki dampak negative yang banyak.

Ketiga:
Hendaknya diketahui bahwa mengajarkan anak-anak, laki-laki maupun perempuan, tentang adab-adab Islam yang berkaitan dengan menutup aurat, pandangan, dan meminta izin (masuk ke ruangan orang tua), hendaknya dimulai sejak kecil, atau ketika usia tamyiz atau pada fase sebelum baligh. 

Dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut telah disebutkan dengan jelas dalam wahyu yang suci. Di antaranya;

1- Firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) (سورة النور: 58)

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nur: 58)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang beriman agar para pelayan mereka, seperti budak dan anak-anak yang belum baligh, agar minta izin (kala memasuki ruang khusus mereka) dalam tiga waktu; Pertama sebelum shalat Fajar, karena ketika itu orang-orang sedang tidur di tempat tidur mereka. Kedua; Ketika kalian melepas baju di siang hari, maksudnya waktu qailulah (tidur siang), karena pada saat itu biasanya orang-orang melepaskan bajunya di tengah keluarganya. Ketiga; Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur. 

Maka para pelayan dan anak-anak diperintahakn agar mereka tidak menerobos masuk rumah pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan akan memandang sesuatu yang tidak baik pada seseorang di tengah keluarganya. Atau amalan semisal itu.
(Tafsir Ibnu Katsir, 6/82)

Adapun jika sang anak mencapai usia baligh, maka izin hendaknya dilakukan pada setiap waktu, sebagaimana firman Allah Ta'ala, 

وَإِذَا بَلَغَ الأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ  (سورة النور: 59)

"Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nur: 59)

2. Dari Amr bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata, "Rasulllah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (رواه أبو داود ، رقم  495،  وصححه الألباني في " صحيح أبي داود)

"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah jika mereka telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkan mereka di tempat tidur mereka." HR. Abu Dawud, no.495 dan dishohehkan oleh Al-Alban di Shoheh Abi Dawud.

Syekh Muhammad Syamsul Haq Al-Azim Al-Abadi rahimahullah berkata,
"Al-Manawi berkata dalam kitab "Fathul Qadil Syarh Jami Shagir", 'Maksudnya adalah memisahkan anak-anak kalian di tempat tidurnya jika mereka telah berusia sepuluh tahun, sebagai antisipasi kemudian timbulnya syahwat, meskipun mereka saudara satu sama lain." 

Ath-Thaybi berkata, "Digabungkannya antara perintah shalat dengan memisahkan tempat tidur anak-anak, sebagai bentuk pengajaran kepada mereka dan upaya menjaga perintah Allah, pendidikan bagi mereka dalam pergaulan antara sesame makhluk, dan agar mereka tidak berada di tempat-tempat tertuduh dan menjauhkan perkara-perkara haram."
(Aunul Ma'bud, 2/115)

Ini merupakan petunjuk wahyu yang suci yang berkaitan dengan aurat dan rangsangan syahwat, dan dia, sebagaimana pandangan kami, dimulai pada usia sepuluh tahun. Dan ini merupakan usia tamyiz pada umumnya anak-anak. 

Ketika anak sudah menjelang usia baligh, hendaknya dia diajarkan tanda-tanda baligh dan ciri-ciri yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Diajarkan pula macam-macam cairan yang keluar dari kemaluan kedua jenis manusia. Begitu pula hendaknya diajarkan hukum berwudhu, mandi dengan memperhatikan redaksi yang digunakan dalam pengajaran sesuai dengan kebutuhan untuk itu.

 Ada dua perkara sangat penting yang hendaknya sudah diajarkan pada anak-anak pada usia yang sangat dini, sekitar usia 3 tahun. Keduanya memilik kaitan erat dengan pemahaman seksual. Keduanya adalah; 

1-     Pentingnya memisahkan anak kecil laki-laki dan perempuan. Mencampurkan mereka pada usia dini akan menimbulkan kerusakan dan cacat pada cara pandang, sifat dan perbuatan pada kedua jenis tersebut. Karena itu, penting agar dipahami oleh anak laki-laki agar dia tidak memakai pakaian saudara perempuannya, atau tidak boleh mengenak anting-anting di telinganya, atau tidak boleh memakai gelang, karena semua itu berlaku untuk wanita, bukan untuk laki-laki. Demikian pula halnya dikatakan terhadap anak wanita terkait dengan perbuatan dan sifat-sifat saudara laki-lakinya.
2-     Hendaknya anak-anak diajarkan keistimewaan aurat, bahwa dia tidak layak terbuka di depan siapapun. Mengajarkan dan mendidik hal ini akan menumbuhkan sifat menjaga diri, malu dan mencegah orang-orang amoral melakukan tindakan bejat kepadanya.

 Keempat:
Adapun masalah wawasan seksual yang berkaitan dengan jimak, atau sesuatu yang umumnya terkait dengan permasalah suami isteri, hal ini hanya dilakukan saat dibutuhkan, seperti jika sudah menjelang pernikahan misalnya, atau dia sudah matang, sehingga dia sudah dapat memahami masalah-masalah umum seperti hukum zina atau semisalnya yang ada kaitannya dengan jimak atau aurat. 

Hendaknya diketahui, bahwa apa yang dibutuhkan dalam masalah ini pada dasarnya merupakan fitrah. Dan yang penting diperhatikan adalah bahwa hendaknya informasi terkait dengan masalah ini sampai kepada anak-anak secara bertahap sesuai fase pertumbuhan mereka. Dapat melalui kajian-kajian fiqih, majelis ilmu, atau materi pelajaran dengan memperhatikan ucapan dan usia yang cocok untuk menyampaikan masalah ini. Peringatkan mereka fenomena kerusakan moral yang terjadi di kalangan orang kafir dan bandingkan dengan kebaikan Islam yang menganjurkan menutup aurat, sifat malu dan menjaga kerhormatan dari sesuatu yang haram. 

Kami anjurkan untuk membaca buku 'Ya Bunayyaa, laqad ashbahta rajulan' (Wahai anakku, engkau telah dewasa) karya Syekh Muhamad bin Abdullah Ad-Duwaisy. Di dalamnya terdapat kiat-kiat mengatasi permasalah syahwa pada anak secara syariat.

Wallahua'lam. 

Sumberislamqa.info/id 

Wednesday, April 4, 2012

Tata Cara Shalat Wanita Hamil

Pertanyaan:
Aku perempuan yang sedang hamil. Aku tidak bisa sujud dengan sempurna karena tidak nyaman. Apakah sebaiknya aku shalat sambil duduk saja walaupun aku bisa berdiri?

Tata Cara Shalat Wanita Hamil:
Kaidah shalat bagi orang yang sakit adalah ia shalat dengan cara menjalankan rukun-rukun dan wajib-wajibnya shalat sesuai kemampuan dan tidak melakukan apa yang ia tidak mampu. Banyak dalil-dalil yang menjelaskan mengenai hal ini. Allah Ta’ala berfirman,


فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian.” (QS. At Taghabun: 16)

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila kalian diperintahkan dengan suatu amalan, maka tunaikanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari, no.7288 dan Muslim no.1337)

وعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلاةِ ، فَقَالَ : صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah mengidap wasir, kemudian aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai perihal shalat. Beliau bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, apabila engkau tidak mampu maka tunaikanlah secara duduk, apabila engkau tidak mampu juga, maka tunaikanlah dengan berbaring miring.” (HR. Bukhari no.1117)

Dengan demikian apabila saudari mampu shalat dengan berdiri maka wajib bagi Anda untuk shalat dengan berdiri. Namun apabila Anda merasa berat untuk berdiri, maka shalatlah dengan duduk.

Boleh duduk di kursi atau duduk di lantai saja, tergantung kemampuan dan yang memudahkan bagi Anda. Hanya saja aku (Syaikh Shalih al Munajjid) menyarankan lebih baik duduk di lantai karena sunah shalat sambil duduk adalah dengan cara duduk bersila, hal ini tentu saja sulit dilakukan apabila Anda duduk di kursi.

Syaikh Utsaimin mengatakan, “Apabila seseorang tidak mampu shalat berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk. Menurutku duduk dengan bersila saat berdiri dan rukuk lebih utama. Hal ini tidak mudah apabila seseorang shalat dengan duduk di kursi.”

Bersila seperti demikian hukumnya tidak wajib, seseorang bisa duduk dengan cara yang ia inginkan karena Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam bersabda “Apabila engkau tidak bisa dengan duduk” beliau tidak merinci tata cara duduknya.” (Syarhul Mumti’, 4:462)

Jadikanlah posisi sujud lebih rendah / condong dibanding rukuk. Apabila engkau mampu shalat dengan berdiri, maka rukuklah dengan menyondongkan badan dan sujud sambil duduk sambil menyondongkan badan (tidak perlu sampai meletakkan dahi di lantai pen.)

Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Barangsiapa yang mampu berdiri namun berat ketika rukuk dan sujud, maka kewajiban berdiri ini belum gugur baginya. Ia tetap shalat dalam keadaan berdiri dan rukuk dengan menyondongkan badan ke depan. Pada saat sujud ia tetap duduk bersila dan menyondongkan badannya ke depan. Posisi sujud lebih rendah dibanding rukuk. Seandainya ia sulit untuk sujud saja, maka ketika sujud saja ia menyondongkan badannya ke depan.” (Ahkamu shalatil maridh wa thaharatihi)

Disadur dari: islamqa.com

Diterjemahkan oleh Ustadz Nurfitri Hadi SS Hafidzhahullahu (Tim Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com 


Kiat-kiat agar Mudah Mengerjakan Shalat Malam

Penulis: Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain (Murid Ulama Besar Saudi Arabia, Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan)

Berikut beberapa kiat yang insya Allah, sangat memudahkan seorang hamba untuk melaksanakan shalat malam.

Pertama: mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah sebagaimana Dia telah memerintahkan dalam firman-Nya, 

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ. 

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (hal menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]




Kedua: mengetahui keutamaan qiyamul lail dan kedudukan orang-orang yang mengerjakan ibadah tersebut di sisi Allah Ta’ala.

Hal tersebut karena siapa saja yang mengetahui keutamaan ibadah shalat malam, dia akan bersemangat untuk bermunajat kepada Rabb-nya dan bersimpuh dengan penuh penghambaan kepada-Nya. Hal ini tentunya dengan mengingat semua keutamaan yang telah diterangkan pada awal pembahasan buku ini. 

Ketiga: meninggalkan dosa dan maksiat karena dosa dan maksiat akan memalingkan hamba dari kebaikan.

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila tidak mampu mengerjakan shalat malam dan puasa pada siang hari, engkau adalah orang yang terhalang dari (kebaikan) lagi terbelenggu. Dosa-dosamu telah membelenggumu.” [1] 

Keempat: menghadirkan di dalam diri bahwa Allah yang menyuruhya untuk menegakkan shalat malam itu. Bila seorang hamba menyadari bahwa Rabb-nya, yang Maha Kaya lagi tidak memerlukan sesuatu apapun dari hamba, telah memerintahnya untuk mengerjakan shalat malam itu, hal itu tentu menunjukkan anjuran yang sangat penting bagi hamba guna mendapatkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Bukankah Allah telah menyeru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا.

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk mengerjakan shalat) pada malam hari, kecuali sedikit (dari malam itu), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur`an itu dengan perlahan-lahan.” [Al-Muzzammil: 1-4] 

Kelima: memperhatikan keadaan kaum salaf dan orang-orang shalih terdahulu, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan setelahnya, tentang keseriusan mereka dalam hal mendulang pahala shalat malam ini.

Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah penasihat untuk kalian lagi orang yang sangat mengasihi kalian, kerjakanlah shalat oleh kalian pada kegelapan malam guna kengerian (alam) kuburan, berpuasalah di dunia untuk terik panas hari kebangkitan, dan bersedekahlah sebagai rasa takut terhadap hari yang penuh dengan kesulitan. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah penasihat untuk kalian lagi orang yang sangat mengasihi kalian.” [2]

Tsabit bin Aslam Al-Bunany rahimahullah berkata, “Tidak ada hal lezat yang saya temukan dalam hatiku melebihi qiyamul lail.” [3]

Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, “Apabila malam hari datang, saya pun bergembira. Bila siang hari datang, saya bersedih.” [4]

Hisyam bin Abi Abdillah Ad-Dastuwa`iy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang menolak tidur pada malam hari karena mengkhawatirkan kematian saat mereka tidur.” [5]

Abu Sulaiman Ad-Darany rahimahullah berkata, “Ahli ketaatan merasa lebih lezat dengan malam hari mereka daripada orang yang lalai dengan kelalaiannya. Andaikata bukan karena malam hari, niscaya saya tidak suka tetap hidup di dunia.” [6]

Ketika Yazid Ar-Raqasy rahimahullah mendekati ajalnya, tampak tangisan dari beliau. Saat ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, “Demi Allah, saya menangisi segala hal yang telah saya telantarkan berupa shalat lail dan puasa pada siang hari.” Beliau juga berkata, “… Wahai saudara-saudaraku, janganlah kalian tertipu dengan waktu muda kalian. Sungguh, bila sesuatu yang menimpaku, berupa kedahsyatan perkara (kematian) dan beratnya kepedihan maut, telah menimpa kalian, pastilah (kalian) hanya (akan berpikir) untuk keselamatan dan keselamatan, untuk kehati-hatian dan kehati-hatian. Bersegeralah, wahai saudara-saudaraku –semoga Allah merahmati kalian-.” [7]

Ishaq bin Suwaid Al-Bashry rahimahullah berkata, “Mereka (para Salaf) memandang bahwa tamasya (itu) adalah dengan berpuasa pada siang hari dan mengerjakan shalat pada malam hari.” [8]

Adalah Malik bin Dinar rahimahullah tidak tidur pada malam hari. Ketika ditanya, “Mengapa saya melihat manusia tidur pada malam hari, sedangkan engkau tidak?” Beliau menjawab, “Ingatan tentang neraka Jahannam tidak membiarkan aku untuk tidur.” [9]

Mu’adzah bintu Abdillah rahimahallah -yang menghidupkan malamnya dengan mengerjakan ibadah- berkata, “Saya takjub kepada mata (seseorang) yang tertidur, sedang dia mengetahui akan panjangnya tidur pada kegelapan kubur.” [10] 

Keenam: mengenal semangat syaithan untuk memalingkan manusia dari qiyamul lail. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ثَلاَثَ عُقَدٍ إِذَا نَامَ بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ لَيْلاً طَوِيلاً فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ وَإِذَا تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَتَانِ فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتِ الْعُقَدُ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Syaithan mengikat tengkuk kepala salah seorang dari kalian sebanyak tiga ikatan ketika orang itu sedang tidur. Dia memukul setiap tempat ikatan (seraya berkata), ‘Malam yang panjang atas engkau, maka tidurlah.’ Apabila orang itu bangun kemudian menyebut nama Allah, terlepaslah satu ikatan. Apabila orang itu berwudhu, terlepaslah satu ikatan (yang lain). Apabila orang itu mengerjakan shalat, terlepaslah seluruh ikatannya. Orang itupun berada pada pagi hari dengan semangat dan jiwa yang baik. Kalau tidak (mengerjakan amalan-amalan tadi), orang itu akan berada pada pagi hari dalam keadaan jiwa yang jelek dan pemalas.” [11]

Ketujuh: memendekkan angan-angan dan banyak mengingat kematian. Ini adalah kaidah yang akan memacu semangat hamba dalam pelaksanaan ketaatan dan menghilangkan rasa malas. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang bahuku seraya berkata,

كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

‘Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau pengembara yang sekedar berlalu.’.”

Adalah Ibnu Umar berkata setelah itu, “Apabila berada pada waktu sore, janganlah engkau menunggu waktu pagi, dan, jika engkau berada pada waktu pagi, janganlah engkau menunggu waktu sore. Ambillah dari waktu sehatmu untuk waktu sakitmu, dan ambillah dari kehidupanmu untuk kematianmu.” [12]

Kedelapan: mengingat nikmat kesehatan dan waktu luang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua nikmat yang banyak manusia melalaikannya: kesehatan dan waktu luang.” [13]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki sembari menasihati lelaki tersebut,

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara dengan segera sebelum (datang) lima perkara; waktu mudamu sebelum (datang) waktu tuamu, kesehatanmu sebelum (datang) sakitmu, kekayaanmu sebelum (datang) kefakiranmu, waktu luangmu sebelum (datang) waktu sibukmu, dan kehidupanmu sebelum (datang) kematianmu.” [14] 

Kesembilan: segera tidur pada awal malam. Dalam hadits Abi Barzakh radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Adalah (Rasulullah) membenci tidur sebelum (mengerjakan shalat) Isya dan berbincang-bincang setelah (mengerjakan shalat Isya) tersebut.” [15] 

Kesepuluh: menjaga etika-etika tidur yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti tidur dalam keadaan berwudhu, membaca “tiga qul” (yakni surah Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas), ayat kursi, dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, dzikir-dzikir yang disyariatkan untuk dibaca ketika tidur, serta tidur dengan bertumpu di atas rusuk kanan. 

Kesebelas: menghindari berbagai sebab yang mungkin melalaikan seorang hamba terhadap shalat malamnya. Para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab tersebut adalah terlalu banyak makan dan minum, terlalu meletihkan diri pada siang hari dengan berbagai amalan yang tidak bermanfaat, tidak melakukan qailulah (tidur siang), dan selainnya.

Demikian beberapa pembahasan berkaitan dengan tuntunan Qiyamul Lail dan shalat Tarawih. Mudah-mudahan risalah ini bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin dan bisa menjadi pedoman dalam hal menghidupkan malam-malam penuh berkah pada bulan Ramadhan dan seluruh bulan lain. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu Ta’ala A’lam.


___________

Catatan kaki:

[1] Al-Hilyah karya Abu Nu’aim 8/96.


[2] Az-Zuhd karya Al-Imam Ahmad hal. 148 -dengan perantaraan Ruhbanul Lail 1/328-.



[3] Lihatlah Sifat Ash-Shafwah 2/262 karya Ibnul Jauzy.

[4] Bacalah Al-Jahr wa At-Ta’dil 1/85 karya Ibnu Abi Hatim.

[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya, dalam Kitab At-Tahajjud wa Qiyamil Lail no. 61, dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, sebagaimana dalam Mukhtashar Qiyamul Lail hal. 57.

[6] Disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/275, Ibnul Jauzy dalam Sifat Ash-Shafwah 2/262, dan Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad 10/248.

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya 65/92.

[8] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Kitab At-Tahajjud wa Qiyamil Lail no. 35.

[9] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya, dalam Kitab At-Tahajjud wa Qiyamil Lail no. 59, dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, sebagaimana dalam Mukhtashar Qiyamul Lail hlm. 76.

[10] Siyar A’lam An-Nubala` 4/509.

[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.

[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah, hanya saja Ibnu Majah tidak menyebutkan ucapan Ibnu ‘Umar. Selain itu, ada tambahan pada akhir riwayat hadits beliau, “… dan hitunglah dirimu dari penghuni kubur.”

[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.

[14] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany.

[15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.

Tuesday, April 3, 2012

Hukum Menyewakan Rumah Untuk Orang Non Muslim

Pertanyaan: 

Saya dan keluargaku tinggal di rumah dua tingkat. Tingkat pertama disewakan, terkadang yang menyewa orang hindu. Apakah merupakan suatu kesalahan kalau ada orang hindu yang tinggal bersama orang Islam di satu rumah?

Jawaban:

 Alhamdulillah

Tidak mengapa menyewakan rumah kepada non muslim dengan tujuan untuk tempat tinggal. Dan diharamkan menyewakan untuk dibuat kemaksiatan seperti untuk ibadah atau dibuat tempat kefasikan dan semisalnya. Yang lebih utama disewakan untuk orang Islam. 

As-Sarkhasy rahimahullah berkata, ‘Tidak mengapa seorang muslim menyewakan rumahnya untuk orang dzimmy (non Islam yang tinggal di Negara Islam) untuk tempat tinggal. Kalau di dalamnya dia minum khomr, menyembah salib atau memasukkan babi. Maka orang Islam tadi tidak terkena dosa apapun.  Karena dia menyewakan bukan untuk itu. Kemaksiatan tersebut merupakan prilaku orang yang menyewa. Maka pemilik rumah tidak berdosa akan hal itu.’ Selesai dari kitab ‘Al-Mabsut, 16/39. 

Telah ada dalam kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 1/286: ‘Kalau orang dzimmi menyewa rumah dari orang Islam, dimana untuk dibuat gereja atau bar untuk menjual khomr. Maka mayoritas ulama’ (Malikiyah, Syafiiyyah, Hanabilah dan teman-teman Abu Hanifah) mengatakan bahwa persewaannya rusak. Karena untuk kemaksiatan. Kalau disewakan orang dzimmi contohnya untuk tempat tinggal, kemudian dibuat untuk geraja atau tempat ibadah secara umum. Maka persewaan terlaksana tanpa ada perbedaan. Sementara pemilik rumah dan orang Islam secara umum, ahli Hisbah (bagian yang menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran) melarangnya. Sebagaimana pelarangan tersebut ada pada rumah yang dimiliki orang dzimmi.’ Selesai. 

Dinukilkan dari Imam Ahmad rahimahullah memakruhkan hal itu dan memperketat dalam masalah jual beli. 

Al-Mardawi rahimahullah berkata, ‘Dinukilkan oleh Marwadzi (dari Imam Ahmad), Tidak dijual, (ditempat) yang diletakkan ukiran dan ditancapkan salib. (beliau) menganggap besar dan memperketat (masalah ini). Dinukilkan dari Abu Al-Harits, ‘Saya tidak melihat (tidak setuju) hal itu. Menjualnya kepada orang Islam lebih saya sukai. Al-Khollal mengatakan, ‘Masalah menurutku, tidak dijual dan tidak disewakan kepadanya. Karena maknanya satu. Abu Bakar Abdul Aziz mengatakan, ‘Tidak ada perbedaan antara penjualan dan penyewaan. Kalau dilarang dijual, maka dilarang juga disewakan. Syekh kami –yakni Syekh Taqiyudin- mengatakan (seperti itu) dan disetujui oleh AL-Qodi dan teman-temannya seperti itu. selesai dari kitab ‘Tashihul Furu’, 2/447. Sementara AL-Mardawi membenarkan pendapat yang memperbolehkan dengan memakruhkan.
Kesimpulannya, bahwa diperbolehkan menyewakan rumah kepada non muslim untuk tempat tinggal. Sementara disewakan kepada orang muslim itu yang lebih diutamakan.

Wallahu’alam .
Soal Jawab Tentang Islam
Sumber: islamqa.info