Monday, February 18, 2013

Cara Mengajari Anak Terbiasa Berdzikir

Pertanyaan:

Bagaimana kami mengajarkan anak-anak zikir, pada malam dan siang hari?

Jawaban:

Alhamdulillah

Anak pada usia tiga dan empat tahun hendaknya dituntun membaca zikir pagi dan petang, zikir ketika hendak tidur, makan dan minum. Meperdengarkan dan menghafal zikir serta membiasakannya memiliki hubungan erat terhadap ruhaninya dengan Allah Aza Walla, maka ruhaninya akan subur dan selamat dari berbagai penyimpangan.

Sebuah keluarga pergi ke padang pasir untuk tamasya. Ketika mereka telah tiba di sebuah tempat, sang anak langsung berlarian dengan gembiranya. Namun ternyata dia tampak segera kembali untuk bertanya kepada ibunya, "Apakah zikir yang dibaca di tempat seperti ini?"

Sebagaimana diketahui bahwa zikir yang dimaksud adalah yang terdapat riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Khaulah binti Hakim radhiallahu anha berkata,

"Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang singgah di sebuah tempat, lalu membaca,

 أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق 

 "Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang Dia ciptakan," 

Niscaya tidak ada sesuatupun yang membahayakannya hingga dia beranjak dari tempat singgahnya tersebut." (HR. Muslim)

Sesungguhnya sang anak tersebut merasakan bahwa seorang muslim memiliki zikir tertentu, sebagian ada yang khusus pada waktu tertentu dan sebagian lagi ada yang khusus pada tempat tertentu, dan begitulah seterusnya. Anak tersebut telah mengetahui hakekat hubungannya dengan Tuhannya yang bersifat terus menerus sebagaimana diajarkan orang tuanya kepadanya. Jika sang anak terdidik dengan hal tersebut, dengan izin Allah dia akan menjadi anak yang saleh dan akan memiliki pengaruh bagi dirinya dan teman-temannya serta siapa saja yang memiliki hubungan dengannya.

Di antara kisah tentang bagaimana jika seorang anak tumbuh bersama zikir dan membangun hubungan kepada Allah Ta'ala: Suatu hari seorang anak yang masih kecil berusia 4 tahun datang menemui ibunya dengan pakaian baru. Kakak perempuannya yang sudah baligh dan berusia 13 tahun yang memakaikannya. Maka sang ibu berkata kepada anaknya, "Mari aku bacakan untukmu doa memakai pakaian baru." Sang anak menjawab, "Aku sudah membacanya." Sang ibu heran, sebab setahu dia anaknya tersebut belum menghafal doa itu. Tapi sang anak kemudian berkata, "Kakak telah membacakan doa tersebut dan aku mengikutinya." Perhatikan, bagaiman kesalehan seorang gadis memiliki pengaruh terhadap saudara-saudaranya yang masih kecil.

Dari Kitab Ummahat Qurbi Abnaihinna, hal 25


sumber: islamqa.info/id
Publikasi: artikelassunnah.blogspot.com

Tuesday, February 5, 2013

Tata Cara Umrah Untuk Dirinya Sekaligus Mengumrahkan Orang Yang Telah Wafat

Pertanyaan:

Apa langkah-langkah yang benar untuk melaksanakan umrah agar saya dapat melakukan umrah untuk bapak saya yang telah meninggal setelah saya melakukan umrah untuk diri saya?

Jawaban:

Alhamdulillah

Anda harus ihram umrah untuk diri anda dari miqat yang anda lewati. Kemudian, jika anda telah menyempurnakan umrah untuk diri anda, dengan thawaf dan sai serta memendekkan rambut anda, maka anda dapat keluar ke Tan'im atau tempat lainnya di tanah halal (di luar tanah haram). Kemudian anda ihram umrah untuk bapak anda, dengan mengatakan, "Labbaika Allahumma bi Umratin an Abii." Kemudian anda thawaf dan sai serta memendekkan rambut. Namun menggundulnya lebih utama. Anda tidak diwajibkan kembali ke miqat untuk ihram umrah untuk bapak anda.

Syekh Bin Baz berkata, "Jika anda ingin menunaikan umrah untuk diri anda dan untuk orang lain yang telah meninggal dunia, atau untuk orang yang sudah tua renta atau orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh, maka yang wajib anda lakukan adalah anda ihram dari miqat yang anda lewati jika anda sudan niat untuk haji atau umrah. Jika anda selesai melakukan amalan umrah atau haji, maka tidak mengapa bagi anda untuk umrah untuk diri anda dari tanah halal terdekat.

Seperti Tan'im, Ja'ronah, dll. Anda tidak diharuskan kembali ke miqat. Karena Aisyah radhiallahu anha melakukan ihram umrah dari miqat Madinah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam haji Wada. Setelah selesai melaksanakan haji dan umrahnya, dia minta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukan umrah secara tersendiri (tidak digabung dengan haji). Maka beliau (Rasulullallah shallallahu alaihi wa sallam) memerintahkan saudaranya Abdurrahman untuk mengantarkannya pergi ke Tan'im, kemudian dia umrah setelah haji. Beliau tidak memerintahkannya untuk kembali ke miqat. Sebelumnya dia telah memasukkan niat ke dalam umrahnya yang ihramnya dia lakukan di miqat, berdasarkan perintah Raslullah shallallahu alaihi wa sallam, karena dia mengaami haidh sebelum menunaikan amalan umrahnya." . 

Fatawa Bin Baz, 17/15

Sumber: islamqa.info
Publikasi: artikelassunnah.blogspot.com

Friday, February 1, 2013

Hukum Menutupi Dahi Dengan Peci/Mukena Saat Sujud


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Pak Ustadz mohon penjelasan tentang cara sujud:
Saya pernah mendengar bahwa kalau sedang sujud, tidak boleh ada yang menghalangi kening (jidat) dengan tempat sujud. Bagaimana kalau yang menghalangi tersebut adalah rambut, kopiah (topi), atau mukena (bagi wanita)?

Demikian dan terima kasih atas penjelasannya.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabaraakatuhu.
Dari: Bestalman
Jawaban:

Wa alaikumus salam wa rahmatullaahi wa baraakatuh,

Ulama berselisih pendapat tentang hukum sujud dengan menempelkan tujuh anggota sujud secara langsung di lantai atau alas sujud.

Pendapat pertama, wajib meletakkan tujuh anggota sujud secara langsung di lantai atau alas sujud (sajadah), dan tidak boleh menutupi anggota sujud dengan pakaian yang digunakan. Seperti menutupi telapak tangan dengan lengan baju atau peci yang menutupi dahi.  Ini adalah pendapat dalam madzhab Syafi’iyah dan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad.

Pendapat kedua, tidak wajib meletakkan anggota sujud secara langsung di lantai atau alas shalat. Namun dibolehkan sujud dalam keadaan anggota sujudnya tertupi pakaian yang dikenakan ketika shalat. Seperti, sujud dalam keadaan peci menutupi dahi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama –Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambali– dan pendapat para ulama masa silam, seperti Atha’, Thawus, an-Nakha’i, asy-Sya’bi, al-Auza’i, dsb. Pendapat kedua ini insya Allah lebih kuat berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كُنَّا نُصَلِّي مَع النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم في شِدَّة الحَرِّ، فإذا لم يستطع أحدُنا أن يُمكِّنَ جبهتَه مِن الأرض؛ بَسَطَ ثوبَه فَسَجَدَ عليه

Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari yang sangat panas. Jika ada sahabat yang tidak mampu untuk meletakkan dahinya di tanah, mereka membentangkan ujung bajunya, kemudian bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، صَلَّى فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ، يَتَّقِي بِفُضُولِهِ حَرَّ الْأَرْضِ وَبَرْدَهَا

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan satu pakaian, yang beliau gunakan untuk membungkus dirinya. Beliau gunakan ujung-ujung pakaiannya untuk menghindari panas dan dinginnya tanah. (HR. Ahmad dan dinilai hasan li ghairihi oleh Syuaib al-Arnauth).

Dan bebrapa hadis lainnya.

Hadis ini menunjukkan bahwa sujud dengan kondisi dimana anggota sujud tertutupi pakaian shalat tidaklah membatalkan shalatanya. Namun perlu diingat bahwa hal ini diperbolehkan JIKA dibutuhkan. Sebagaimana rincian pada pembahasan di bawah ini.

Sujud Menggunakan Alas

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin memberikan rincian tentang hukum bersujud di atas alas. Beliau mengatakan:

Alas untuk sujud ada tiga macam:

Pertama, alas tersebut merupakan salah satu anggota sujud. Misalnya sujud sambil meletakkan tangan di dahi, sehingga dahinya tertutup tangan. Atau meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan, atau mengangkat salah satu kaki dan diletakkan di atas kaki satunya. Sujudnya dengan kondisi seperti ini hukumnya terlarang dan sujudnya tidak sah. Karena berarti ada anggota sujud yang tidak menempel tanah.

Kedua, alas tersebut bukan anggota sujud, namun melekat di badan orang yang shalat. Misalnya: peci, surban, baju, dsb. Bersujud di atas alas semacam ini hukumnya makruh, kecuali jika ada kebutuhan. Misalnya, untuk menahan panasnya lantai. Anas bin Malik tmengatakan: “Kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kondisi terik yang sangat panas. Jika diantara kami ada yang tidak kuat meletakkan dahinya di tanah, mereka menghamparkan ujung pakaiannya dan sujud di atasnya.”

Hadis ini menunjukkan bahwa menggunakan alas ketika sujud ketika TIDAK dibutuhkan adalah makruh. Karena para sahabat yang menghamparkan pakaiannya untuk digunakan alas sujud hanya mereka yang merasa tidak kuat menahan panasnya tanah masjid. Sementara mereka yang tidak merasa kepanasan, tidak menghamparkan bajunya untuk alas dahi ketika sujud.

Ketiga, bersujud dengan alas yang tidak termasuk pakaian yang melekat pada tubuh orang yang shalat. Misalnya: tikar, sajadah, karpet, keramik, sandal, dan semacamnya. Alas-alas sujud semacam ini BOLEH digunakan untuk sujud. (Simak asy-Syarh al-Mumthi’, 3:114 – 115)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.konsultasisyariah.com )