Monday, August 29, 2011

Kapan Takbir Hari Raya Idul Fitri Dimulai Dan Diakhiri?

Pertanyaan:

Kapan dimulai takbir di hari raya idul fitri dan kapan selesainya?

Jawaban:

Alhamdulillah

Di akhir bulan Ramadan, Allah syariatkan hamba-Nya untuk bertakbir.

Allah berfirman,


ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ماهداكم (سورة البقرة : 185)

"Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)

Tukabbirullah’ maksudnya mengagungkan-Nya dengan hati dan lisan kalian, yaitu dengan melafazkan kalimat-kaliamt takbir, seperti



الله أكبر الله أكبر ، لا إله إلا الله ، الله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد

Allah Mah Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah. Allah Maha Besar, segala pujian milik Allah.

Atau bertakbir tiga kali dengan mengucapkan:

الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، لا إله إلا الله ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد

Allah Mah Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, Allah Mah Besar, Allah Maha Besar,segala pujian milik Allah.

Semuanya itu dibolehkan.

Takbir ini disunnahkan menurut mayoritas ulama. Disunnahkan bagi laki-laki dan para wanita. Baik di masjid, rumah maupun di pasar.

Para lelaki dianjurkan meninggikan suaranya, sedangkan kaum wanita merendahkan tidak meninggikan suaranya. Karena wanita diperintahkan untuk merendahkan suaranya. Oleh karena itu Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إذا نابكم شيء في صلاتكم فليسبح الرجال ، ولتصفق النساء

"Kalau kalian akan mengingatkan dalam shalat, maka hendaknya bertasbih bagi lelaki dan menepuk tangan bagi wanita."

Para wanita merendahkan suaranya sementara para lelaki meninggikan suaranya.

Takbir dimulai sejak matahari terbenam pada malam Id, apabila bulan (Syawal) sudah diketahui sebelum magrib, misalnya ketika Ramadan sempurnakan tiga puluh hari, atau telah ditetapkan rukyah hilal syawal. Takbir diakhiri dengan pelaksanaan shalat id. Yakni ketika orang-orang mulai shalat Id, maka selesailah waktu takbir." (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 16/269-272)

Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-Umm mengatakan, "Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman di bulan Ramadan, ‘‘Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu." (SQ. Al-baqarah: 185)

Maka saya mendengarkan orang yang paling saya ridai dari kalangan ahli qur’an mengatakan, "Mencukupkan bilangannya, maksudnya bilangan puasa bulan Ramadan. Dan mengagungkan Allah ketika telah sempurna atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu. Sempurnanya adalah dengan terbenamnya matahari di hari terakhir di bulan Ramadan."

Kemudian Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Orang yang di tinggal (tengah jalan) dan orang yang safar ketika mereka melihat hilal bulan Syawwal. Saya senang orang-orang bertakbir baik secara kelompok maupun sendiri-sendiri. Di masjid, pasar maupun di jalan-jalan. Sementara orang yang bermukim, (bertakbir) pada setiap kondisi, dan dimana saja mereka berada. Agar kalimat takbir menggema. Takbir hendaknya terus dikumandangkan hingga berangkat ke tempat shalat, hingga imam keluar untuk shalat, saat itu takbir dihentikan."

Kemudian diriwayatkan dari Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Salamah, Abu Bakar bin Abdurrahkan radhiallahu’anhum biasanya mereka bertakbir malam Idul Fitri di Masjid dengan mengeraskan suara takbir. Dan dari Urwah bin Zubair dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa keduanya biasanya mengeraskan takbir ketika berangkat ke tempat shalat.

Dari Nafi’ bin Jubair biasanya beliau mengeraskan takbir ketika berangkat ke tempat shalat pada hari Id.

Terdapat riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, biasanya beliau berangkat ke tempat shalat pada hari raya Idul Fitri ketika matahari terbit. Beliau terus bertakbir hingga tiba di tempat shalat Id. Di tempat shalat, beliau tetap bertakbir hingga imam duduk. Ketika itu beliau meninggalkan takbir." .

Sumber: www.islam-qa.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Saturday, August 27, 2011

Apa Hukum Shalat Ied Bagi Wanita?


Pertanyaan:
Apakah shalat Id diwajibkan kepada wanita. Kalau diwajibkan, apakah dia shalat di rumah atau di tanah lapang tempat shalat?

Jawaban:
Alhamdulillah

Shalat Id bagi wanita hukumnya sunnah bukan wajib. Dia boleh shalat di tanah lapang tempat shalat bersama umat Islam. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.

Dalam kitab Ash-Shahihain dan lainnya dari Ummu Atiyah radhiallahu anha, dia berkata,


أُمِرنَا - وفي رواية أمَرَنا ؛ تعني النبي صلى الله عليه وسلم - أن نخرج في العيدين العواتق وذوات الخدور ، وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى المسلمين (رواه البخاري 1/93 ومسلم (890) ، وفي رواية أخرى) أمرنا أن نخرج ونخرج العواتق وذوات الخدور.

"Kami diperintahkan –dalam redaksi lain memerintahkan kepada kami – yakni Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam untuk mengajak keluar pada dua hari raya para wanita balig dan para perawan. Beliau juga memerintahkan agar wanita haid dipisahkan dari tempat shalat kaum muslimin." (HR. Bukhari, 1/93. Dan Muslim, 890. Dalam redaksi lain, ‘Kami diperintahkan untuk keluar dan mengeluarkan para wanita balig dan para perawan)

Dalam redaksi Tirmizi,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يُخرج الأبكار والعواتق وذوات الخدور والحيض في العيدين ، فأما الحيض فيعتزلن المصلى ويشهدن دعوة المسلمين، قالت إحداهن : يا رسول الله ، إن لم يكن لها جلباب ، قال : فلتعرها أختها من جلابيبها (متفق عليه)

"Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dahulu mengeluarkan para perawan, para wanita balig, wanita pingitan dan orang haid (menghadiri shalat) dua hari raya. Sementara wanita haid dipisahkan dari tempat shalat. Agar mereka menyaksikan doa umat islam." Salah seorang diantara kami mengatakan, "Wahai Rasulullah, bagaimana kalau ada yang tidak mempunyai jilbab?" Beliau menjawab, "Hendaknya saudarinya meminjamkan jilabnya." (Muttafaq alaihi)

Dalam redaksi Nasa’i, Hafshah binti Sirin berkata, "Dahulu Ummu Athiyah tidak menyebutkan Rasulullah sallallahu alaihi wa salam kecuali mengatakan, "Dengan nama ayahku." Maka saya bertanya, "Apakah anda mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan ini dan ini?" Beliau menjawab, "Ya, dengan nama ayahku, (beliau bersabda), ‘Para wanita baligh, para perawan dan wanita haid hendaknya keluar untuk menyaksikan shalat Id dan doa umat Islam. Dan hendaknya wanita haid dipisahkan dari tempat shalat." (HR. Bukhari, 1/84)

Dari (penjelasan) tadi, jelas bahwa keluarnya para wanita untuk shalat dua hari raya adalah sunnah muakkad. Akan tetapi disyaratkan ketika keluar dalam kondisi tertutup bukan bersolek sebagaimana diketahui hal itu berdasarkan dalil lain. Adapun keluarnya remaja yang menjelang dewasa untuk shalat Id, shalat Jum’at dan lainnya untuk shalat adalah bagus dan dianjurkan berdasarkan banyak dalil tentang hal itu."

Wabillahit taufik.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 8/284-286.


Sumber: www.islam-qa.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Friday, August 26, 2011

Panduan Praktis Tata Cara Shalat Idul Fitri

Pertanyaan:

Bagaimana tata cara shalat Idul Fitri? Mohon dijelaskan dengan lengkap beserta dalil-dalilnya. Jazakumullah khairan.

Jawaban tata cara shalat Idul Fitri:

1. Sutrah (pembatas shalat) bagi imam

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan pada hari raya, beliau memerintahkan untuk menancapkan bayonet di depan beliau, kemudian beliau shalat menghadap ke benda tersebut. (H.r. Al-Bukhari)

2. Shalat Idul Fitri dua rakaat

Umar bin Khaththab mengatakan, “Shalat Jumat dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat ….” (H.r. Ahmad dan An-Nasa’i; dinilai sahih oleh Al-Albani)

3. Shalat dilaksanakan sebelum khotbah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma; beliau mengatakan, “Saya mengikuti shalat id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiallahu ‘anhum. Mereka semua melaksanakan shalat sebelum khotbah.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Takbir ketika shalat Idul Fitri

Takbiratul ihram di rakaat pertama lalu membaca doa iftitah, kemudian bertakbir tujuh kali. Di rakaat kedua, setelah takbir intiqal, berdiri dari sujud, kemudian bertakbir lima kali.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika Idul Fitri dan Idul Adha; di rakaat pertama sebanyak tujuh kali takbir dan di rakaat kedua sebanyak lima kali takbir selain takbir rukuk di masing-masing rakaat.” (H.r. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takbir ketika shalat Idul Fitri: tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua, dan ada bacaan di masing-masing rakaat.” (H.r. Abu Daud dan At-Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Al-Baghawi mengatakan, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat maupun orang-orang setelahnya. Mereka bertakbir ketika shalat id: di rakaat pertama tujuh kali –selain takbiratul ihram– dan di rakaat kedua lima kali –selain takbir bangkit dari sujud–. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu bakar, Umar, Ali … radhiallahu ‘anhum ….” (Syarhus Sunnah, 4:309; dinukil dari Ahkamul Idain, karya Syekh Ali Al-Halabi)

5. Mengangkat tangan ketika takbir tambahan

Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir shalat id.” (Ahkamul Idain, hlm. 20)

Akan tetapi, terdapat riwayat dari Ibnu Umar bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir tambahan shalat id. (Zadul Ma’ad, 1:425)

Al-Faryabi menyebutkan riwayat dari Al-Walid bin Muslim, bahwa beliau bertanya kepada Imam Malik tentang mengangkat tangan ketika takbir-takbir tambahan. Imam Malik menjawab, “Ya, angkatlah kedua tanganmu setiap takbir tambahan ….” (Riwayat Al-Faryabi; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Albani)

Keterangan:

Takbir tambahan: Takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.

6. Zikir di sela-sela takbir tambahan

Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zikir tertentu di sela-sela takbir tambahan.” (Ahkamul Idain, hlm. 21)

Meski demikian, terdapat riwayat yang sahih dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; beliau menjelaskan tentang shalat id, “Di setiap sela-sela takbir tambahan dianjurkan membaca tahmid dan memuji Allah.” (H.r. Al-Baihaqi; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Disebutkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau menjelaskan, ‘(Di setiap sela-sela takbir, dianjurkan) membaca hamdalah, memuji Allah, dan bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’” (Zadul Ma’ad, 1:425)

7. Bacaan ketika shalat Idul Fitri

Setelah selesai bertakbir tambahan, membaca ta’awudz, membaca Al-Fatihah, kemudian membaca surat dengan kombinasi berikut:

Surat Qaf di rakaat pertama dan surat Al-Qamar di rakaat kedua.
Surat Al-A’la di rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiyah di rakaat kedua.

Semua kombinasi tersebut terdapat dalam riwayat Muslim, An-Nasa’i, dan At-Turmudzi.

8. Tata cara shalat Idul Fitri selanjutnya

“Tata cara shalat id selanjutnya sama dengan shalat lainnya, tidak ada perbedaan sedikit pun.” (Ahkamul Idain, hlm. 22)

Sumber: konsultasisyariah.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Download Kumpulan Kartu Lebaran 2011

Silahkan Didownload kartu lebarannya..

Cara Penggunaan

1. Kartu Lebaran Digital ini dapat Anda kirimkan kepada orang-orang terdekat Anda; orangtua , suami, istri, saudara, dan sahabat Anda. Kartu lebaran digital ini didesain sedemikian rupa disesuaikan dengan penerimanya.

2. Kartu Lebaran Digital ini dapat Anda kirimkan via email kepada orang terdekat Anda, atau dapat juga ditampilkan di halaman facebook Anda.

Silakan pilih dan download koleksi Kartu Lebaran pada link di bawah ini:


Abi Umi (untuk orangtua)

Download E-Card Lebaran - ABI UMMI

Arhuwani (untuk saudara)

Download E-Card Lebaran - AKHI UKHTI

Aswad (umum)

Download E-Card Lebaran - Aswad

Azraq (umum)

Download E-Card Lebaran - AZRAQ

Grey Masjid (umum)

Download E-Card Lebaran - GRAY MASJID

Habiby (untuk istri)

Download E-Card Lebaran - HABIBI

Medina (umum)

Download E-Card Lebaran - MEDINA

Nur (umum)

Download E-Card Lebaran - NUR

Shodiqy (untuk sahabat)

Download E-Card Lebaran - SHODIQI

Ya Ukhty (untuk saudari)

Download E-Card Lebaran - YA UKHTI

Zaujy (untuk suami)

Download E-Card Lebaran - ZAWJI

dikutp dari: konsultasisyariah.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Thursday, August 25, 2011

Pelajaran bagi Kaum Muslimin dari Kejadian di Libya

Berikut ini adalah nasehat Syaikh Zaid bin Muhammad Hadi Al-Madkhali hafizhahullah untuk ikhwan salafi Libya. Dimana dalam kejadian di Libya, sebagian orang di sana berdemo menuntut Presiden mereka Khadafi untuk mundur, sampai kepada tindakan memberontak. Khadafi tidak mau mundur dan mengerahkan segala kekuatannya untuk menumpas pemberontak. Demikian juga dengan para pemberontak. Tindakan yang membabi buta sehingga tak sedikit kaum muslimin yang tidak ikut-ikutan menjadi korban, baik jiwa, harta dan kehormatan mereka. Padahal Islam menjaga lima perkara, yaitu: agama, akal, kehormatan, harta dan jiwa. Semuanya jadi kacau dan seakan tak berharga ketika masa fitnah perang saudara ini. Ini adalah pelajaran bagi kita semua, kaum muslimin di Indonesia. Di dalam kejadian ini ada pelajaran nikmatnya keamanan dan ketenangan, dimana manusia terjaga kelima perkara di atas dan mereka bisa beramal untuk kebaikan agama dan dunia mereka.

Dalam kondisi genting seperti itu, ikhwan salafi di Libia menghubungi Syaikh Zaid Bin Muhammad Hadi Al-Madkhali hafizahullah, kemudian beliau memberikan nasehat untuk menghadapi fitnah ini:
Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat dan salam tercurah atas Rasulullah, keluarganya, dan para shahabatnya. Adapun sesudah itu:
Sesungguhnya kami merasa sedih di tempat ini dan ikut tersibukkan dengan yang kalian alami. Kami berdoa kepada Allah untuk menjadikan jalan keluar bagi kalian dekat.

Dan hendaknya kalian mengetahui bahwa fitnah peperangan yang terjadi ini adalah suatu takdir yang telah ditetapkan oleh Allah, sedangkan kita adalah satu ummat yang beriman dengan takdir. Bersama dengan bersabar, mengharap pahala dari Allah dan berusaha semampu mungkin untuk menempuh asbab syar'i untuk menolak kejelekan.

Maka aku memberikan wasiat kepada para penuntut ilmu agama seperti kalian dalam masa fitnah dan ujian ini:

Pertama: untuk kembali berserah diri kepada Allah dengan menunaikan perkara-yang fardhu dan sholat-sholat rawatib, memperbanyak doa pada waktu sahur (sepertiga malam terakhir). Allah menjanjikan bagi kalian untuk mengabulkan doa. Sebagaimana firman Allah:
وقال ربكم ادعوني استجب لكم
‘Dan Rabb kalian terlah berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya bagi kalian.’
Maka berdoalah kalian dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan.

Kedua: Jika kekuatan dan serangannya ini terjadi tanpa perhitungan (membabi buta)
terhadap kehormatan, harta benda dan darah (jiwa), maka tinggallah kalian di rumah-rumah kalian. Tutuplah pintu-pintu rumah kalian. Barangsiapa yang tanpa ijin masuk ke rumah kalian dan membuka pintu rumah kalian, maka cegahlah dia sehingga tidak terjadi pengrusakan terhadap kehormatan, harta benda dan jiwa kalian. Cegahlah dengan cara yang paling mudah, jika dia enggan maka tolaklah dengan yang kalian mampu. Hakikatnya orang yang melanggar hak orang lain, hukumnya dalam syariat Islam dia diperangi. Jika sampai dia terbunuh, maka dia di neraka. Adapun orang yang haknya dirampas, jika dia disakiti atau terbunuh dalam keadaan muslim, maka dia syahid di surga. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan aku menegaskan kepada kalian untuk mencegah dengan cara yang paling mudah. Jika orang yang zhalim itu menolak, maka boleh dia diperangi dan dibunuh. Kadang bisa sampai tingkat wajib (untuk mencegah), jika dia ingin merusak harta benda, kehormatan dan jiwa. Cegahlah dengan mulai cara yang termudah. Tutuplah pintu dan jagalah kehormatan kalian.
Kami memohon kepada Allah untuk menghilangkan fitnah ini dalam waktu yang dekat, kemudian menggantikan keadaan takut mencekam dengan keamanan. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.”

Dikutp dari:http://njza.net/Default_ar.aspx?Page_ID=114, forum-unand.blogspot.com

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Wednesday, August 24, 2011

Download Ebook: Panduan Praktis Zakat Fithri


Akhir Puasa tingal hitungan jari.. dan kita akan bertemu dengan Ied Fithri..

di akhir akhir ramadhan Allah Subhanahu wata'ala telah mewajibkan kita untuk berzakat. walaupun anak anak tetap harus berzakat.

Apakah kita sudah mengetahui tentang Zakat Fithri?

apabila belum tahu maka, di haruskan kita membacanya dan mengkaji tentang Zakat.
agar amal ibadah kita diterima, karena salah satu syarat diterimanya amalan adalah dengan mengikuti petunjuk Nabi Shallahu alaihi wasalam.

Langsung saja

di dalam Ebook ini, dijelaskan tentang definisi Zakat Fithri, waktu zakat fithri, hukum hukum, bentuk zakat, dengan bahan pokok atau boleh dengan uang dan masih byk yg lainnya.
semua dipaparkan di ebook tersebut.

silahkan download

Download

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Monday, August 22, 2011

Amalan Amalan Untuk Menghidupkan Malam Lailatul Qadar Bagi Wanita Haid

Pertanyaan:

Bagaimana cara wanita haid menghidupkan lailatul qadar?

Jawaban:

Untuk wanita haid yang ingin medapatkan malam lailatul qadar

Wanita haid bisa melakukan banyak ibadah selain shalat.

Juwaibir mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu tentang wanita nifas, haid, musafir, dan orang yang tidur; apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Setiap orang yang Allah terima amalannya akan mendapatkan bagian lailatul qadar.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 341)

Keterangan ini menunjukkan bahwa wanita haid, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Hanya saja, wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat. Untuk bisa mendapatkan banyak pahala ketika lailatul qadar, wanita haid atau nifas masih memiliki banyak kesempatan ibadah. Di antara bentuk ibadah yang bisa dilakukan adalah:

1. Membaca Alquran tanpa menyentuh mushaf.

2. Berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), tahmid
(alhamdulillah), dan zikir lainnya.

3. Memperbanyak istigfar.

4. Memperbanyak doa.

5. Membaca zikir ketika lailatul qadar, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang itu merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ucapkanlah, ‘اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي’ (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku.)’” (Hadis sahih; diriwayatkan At-Turmudzi dan Ibnu majah)

Dalam Fatwa Islam Tanya-Jawab dijelaskan, “Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di ka’bah, dan i’tikaf di masjid. Menghidupkan lailatul qadar tidak hanya dengan shalat, namun mencakup semua bentuk ibadah. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, ‘Makna ‘menghidupkan malam lailatul qadar’ adalah begadang di malam tersebut dengan melakukan ketaatan.’ An-Nawawi mengatakan, “Makna ‘menghidupkan lailatul qadar’ adalah menghabiskan waktu malam tersebut dengan bergadang untuk shalat dan amal ibadah lainnya.’”

Kesimpulan: Meskipun wanita berhalangan, mereka masih mampu untuk mendapatkan malam lailatul qadar.

Sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753, konsultasisyariah.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Allahu a’lam.

Saturday, August 20, 2011

Download Kumpulan Ceramah Tentang Lailatul Qadar Dan I'tikaf

Menambah artikel yang lalu tentang Malam Lailatu Qadar.
sekadar artikel ini berisikan Kumpulan audio ceramah ustadz tentang lailatul Qadar.

agar amalan kita bisa mendapatkan pahala
langsung aja

silahkan di download

1. I’tikaf di bulan Ramadhan oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsuddin, Lc.

2. Seputar Lailatul Qadar & I'tikaf oleh Ustadz Abdullah Hadrami.

3. Keutamaan Bulan Ramadhan Dan Lailatul Qadar oleh Ustadz Mizan, Lc.

4. Tentang Tarawih dan Malam Lailatul Qadar oleh Ustadz Abdussalam.

5. Meraih Keutamaan Malam Lailatul Qadr 1 oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary, MA.

6. Meraih Keutamaan Malam Lailatul Qadr 2 oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary, MA.

Dikutip dari: www.kajian.net
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Amalan Amalan Untuk Menghidupkan Malam Lailatul Qadar

Pertanyaan:

Bagaimana cara menghidupkan Lailatul Qadar, apakah dengan shalat, membaca Al-Qur’an atau sejarah nabi, atau dengan menyampaikan ceramah, atau dengan merayakan hal itu di masjid?

Jawaban:

Alhamdulillah.

Pertama, biasanya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam ibadah seperti shalat, membaca (Al-Qur’an) dan berdoa dalam sepuluh malam akhir di bulan Ramadan melebihi ibadahnya di malam selain Ramadan.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiallahu’anha sesungguhnya Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Biasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki sepuluh (malam terakhir) menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya serta mengencangkan kainnya (semangat beribadah dan menghindari isterinya)."

Diriwayatkan pula oleh Ahmad dan Muslim: “Beliau bersungguh-sungguh (ibadah) pada sepuluh malam akhir melebihi kesungguhannya pada selain Ramadan."

Kedua, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menunaikan qiyam pada Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan penuh pengharapan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda: “Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan iman dan harap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (Muttafaq ‘alaihi)

Hadits ini menunjukkan dianjurkannya menghidupkan Lailatul Qadar dengan qiyam.

Ketiga, diantara doa yang paling utama yang diucapkan pada Lailatul Qadar adalah apa yang Nabi sallalahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada Aisyah radhiallahu ‘anha. Diriwayatkan oleh Tirmizi dari Aisyah radhiallahu’anha berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah! Bagaimana pendapat anda kalau sekiranya saya melihat Lailatul Qadar. Apa yang saya ucapkan di dalamnya?, beliau menjawab: “Katakanlah


اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Memaafkan, dan senang memaafkan, maka ampunilah diriku.

Keempat, adapun mengkhususkan suatu malam di bulan Ramadan sebagai Lailatul Qadar, hal ini memerlukan dalil yang menkhususkan malam tersebut, bukan malam lain. Akan tetapi pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir lebih besar kemungkinan dibandingkan malam lainnya, dan malam dua puluh tujuh lebih besar kemungkinannya sebagai malam Lailatul Qadar. Sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh hadits yang telah kami sebutkan

Kelima, perbuatan bid’ah tidak dibolehkan, baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan.

Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam sesunggunya beliau bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami (agama) ini yang tidak ada (tuntunan) darinya, maka ia tertolak."

Apa yang dilakukan pada sebagian malam Ramadan dengan perayaan-perayaan, kami tidak mengetahui asalnya. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk urusan adalah yang baru (dalam agama).

Wabillahi taufiq .

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 10/413


Sumber: www.islamqa.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Friday, August 19, 2011

Download Ebook: Panduan I'tikaf

Bulan Ramadhan hampir habis, dan hari ke dua puluh tinggal hitungan jam..
di hari ke sepuluh terakhir di bulan ramadhan

Ada amalan yang Rosulullah Shalallahi alaihi wasalam tidak pernah meninggalknya.

Amalan tersebut adalah I'tikaf dimasjid.

kenapa , karena sangat besar ganjarannya dan di sepuluh hari terakhir juga terdapat malam yg mulia, yaitu malam Lailatul Qodr.

Langsung aja

Download Panduan I'tikaf

Download

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Thursday, August 18, 2011

Seseorang Berhubungan dengan Istrinya Waktu Siang Hari Ramadhan Tanpa Keluar Mani

Pertanyaan:
Seseorang berhubungan dengan istrinya waktu siang hari ramadan tanpa keluar mani, apa hukumnya? Dan (hukuman) apa untuk istrinya kalau dia tidak tahu?

Jawaban:
Alhamdulillah

Orang yang berhubungan (suami istri) waktu siang Ramadan sementara dia dalam kondisi puasa dan sedang menetap (tidak dalam safar), maka dia terkena kaffarah mugoladzoh (tebusan yang berat), yaitu memerdekakan budak, kalau tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, dan kalau tidak mampu, memberi makan enampuluh orang miskin.

Seorang istri juga demikian hukumnya kalau jika dia rela. Kalau dia dipaksa, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Kalau keduanya bepergian, maka tidak ada dosa, tidak ada kaffarah juga tidak perlu menahan sisa harinya. Keduanya hanya mengqadha hari itu. karena keduanya tidak harus berpuasa. Begitu juga orang yang berbuka karena kondisi darurat, seperti menolong seseorang yang akan binasa. Kalau dia berhubungan badan pada hari dia berbuka puasa karena kondisi darurat tersebut, maka tidak ada apa-apa. Karena dia tidak melanggar puasa wajib.

Orang yang berhubungan badan dalam kondisi puasa, dan dia sedang menetap di negerinya sehingga dia diharuskan berpuasa. Maka baginya berlaku lima ketentuan;

1. Berdosa.
2. Batal puasanya.
3. Harus manahan (sisa harinya).
4. Harus diqadha.
5. Harus membayar kaffarah (tebusan).

Dalil (harus membayar) kaffarah, terdapat dalam hadits Abu Hurairah terkait dengan seseorang berhubungan dengan istrinya waktu siang Ramadan. Orang ini tidak mampu puasa dan memberi makan, maka gugur baginya kewajiban membayar kaffarah. Karena Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya. Juga karena tidak ada kewajiban jika tidak mampu. Tidak ada perbedaan (hukumnya) apakah keluar atau tidak keluar mani, selagi mereka telah berhubungan badan. Lain halnya, jika keluar mani terjadi di luar berhubungan badan, maka tidak ada kaffarah. Akan tetapi dia berdosa, harus menahan (sisa harinya) dan mengqadha.

Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’ati Al-Muslimah, vol. 1 hal. 348


Sumber: www.islam-qa.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Wednesday, August 17, 2011

Bolehkah Menirukan Suara Dalam Shalat Tarawih?

Pertanyaan:
Sebagian imam masjid dalam shalat taraweh, meniru bacaan orang lain, dengan maksud agar bacaan Al-Qur’annya lebih baik. Apakah prilaku ini dianjurkan dan dibolehkan?

Jawaban:
Alhamdulillah

Membaguskan suara dalam (membaca) Al-Qur’an adalah perkara yang dianjurkan. Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Beliau pernah mendengarkan bacaan Abu Musa Al-Asy’ari dan terpesona dengan bacaannya, hingga beliau berkata kepadanya:

لَقَدْ أُوتِيْتَ مِزْمَاراً مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُد (رواه مسلم في صلاة المسافرين، رقم 793)

Sungguh engkau telah diberi karunia seruling di antara seruling keluarga nabi Daud.” (HR. Muslim, bab Shalatul Musafirin, no. 793)

Dengan demikian, kalau seorang imam masjid meniru seseorang yang suara dan bacaannya baik, dengan tujuan memperbaiki suara dan bacaan Al-Qurannya, maka hal ini adalah perkara yang dianjurkan, baik untuk dirinya, maupun untuk orang lain. Karena hal tersebut dapat memberi semangat bagi orang-orang yang shalat di belakangnya, serta dapat menghadirkan hati serta mengundang orang untuk mendengarkan bacaannya secara seksama. Dan keutamaan Allah diberikan kepada yang Allah kehendaki. Dan Allah mempunyai keutamaan yang agung.

Kitabud Dakwah, 5 Ibnu Utsaimin, 2/201

Sumber: www.islam-qa.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Tuesday, August 16, 2011

Apakah Qunut Witir Hanya Dilakukan pada Setengah Bulan Ramadlan ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Berikut ringkasannya seperti yang dikatakan oleh At-Tirmidziy rahimahullah :

واختلف أهل العلم في القنوت في الوتر، فرأى عبد الله بن مسعود القنوت في الوتر في السنة كلها، واختار القنوت قبل الركوع. وهو قول بعض أهل العلم. وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك وإسحق وأهل الكوفة. وقد روي عن علي بن أبي طالب أنه كان لا يقنت إلا في النصف الآخر من رمضان، وكان يقنت بعد الركوع. وقد ذهب بعض أهل العلم إلى هذا. وبه يقول الشافعي وأحمد.

“Para ulama berbeda pendapat tentang qunut yang dilakukan pada shalat witir. ‘Abdullah bin Mas’uud berpendapat bahwa qunut pada shalat witir sepanjang tahun, dan ia memilih qunut tersebut dilakukan sebelum rukuk. Itu merupakan pendapat sebagian ulama. Itulah pendapat yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ishaaq, dan penduduk Kuufah. Dan telah diriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib bahwasannya ia tidak melakukan qunut kecuali pada setengah akhir bulan Rmadlaan, yang dilakukan setelah rukuk. Sebagian ulama berpendapat dengan ini. Inilah pendapat yang dipegang oleh Asy-Syaafi’iy dan Ahmad” [Sunan At-Tirmidziy, 1/479-480].

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata :

حدثنا ابن عليه عن أيوب عن نافع عن ابن عمر أنه كان لا يقنت إلا في النصف يعني من رمضان
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia tidak melakukan qunut kecuali pada setengah bulan Ramadlaan [Al-Mushannaf, 2/304].

Sanad riwayat ini shahih.

حدثنا محمد بن بشر قال حدثنا سعيد عن قتاده عن الحسن أن أبيا أم الناس في خلافه عمر فصلى بهم النصف من رمضان لا يقنت فلما مضى النصف قنت بعد الركوع ....

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid (bin Abi ‘Aruubah), dari Qataadah, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya Ubay pernah mengimami manusia di jaman kekhilafahan ‘Umar. Ia shalat bersama mereka setengah bulan Ramadlan tanpa melakukan qunut. Ketika lewat setengah (pertama) bulan Ramadlaan, ia melakukan qunut setelah rukuk….” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].
Qataadah mempunyai mutaba’ah dari Yuunus bin ‘Ubaid sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1429. Sanad riwayat ini lemah karena adanya keterputusan antara Al-Hasan dengan ‘Umar.
حدثنا أحمد بن محمد بن حنبل، ثنا محمد بن بكر، أخبرنا هشام، عن محمد عن بعض أصحابه أن أبيّ بن كعب أمَّهم يعني في شهر رمضان وكان يقنت في النصف الآخر من رمضان.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam, dari Muhammad, dari sebagian shahabatnya : Bahwasannya Ubay bin Ka’b mengimami mereka pada bulan Ramadlan, dan ia melakukan qunut pada pertengahan akhir bulan Ramadlaan [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1428].

Sanad ini lemah, karena mubham-nya syaikh dari Muhammad (bin Siiriin).
نا الربيع بن سليمان المرادي نا عبد الله بن وهب أخبرني يونس عن بن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبد الرحمن بن عبد القاري وكان في عهد عمر بن الخطاب مع عبد الله بن الأرقم على بيت المال أن عمر خرج ليلة في رمضان فخرج معه عبد الرحمن بن عبد القاري فطاف بالمسجد وأهل المسجد أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط فقال عمر والله إني أظن لو جمعنا هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم عمر على ذلك وأمر أبي بن كعب أن يقوم لهم في رمضان فخرج عمر عليهم والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر نعم البدعة هي والتي تنامون عنها أفضل من التي تقومون يريد آخر الليل فكان الناس يقومون أوله وكانوا يلعنون الكفرة في النصف اللهم قاتل الكفرة الذين يصدون عن سبيلك ويكذبون رسلك ولا يؤمنون بوعدك وخالف بين كلمتهم وألق في قلوبهم الرعب وألق عليهم رجزك وعذابك إله الحق ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ويدعو للمسلمين بما استطاع من خير ثم يستغفر للمؤمنين قال وكان يقول إذا فرغ من لعنة الكفرة وصلاته على النبي واستغفاره للمؤمنين والمؤمنات ومسألته اللهم إياك نعبد ولك نصلي ونسجد وإليك نسعى ونحفد ونرجو رحمتك ربنا ونخاف عذابك الجد ان عذابك لمن عاديت ملحق ثم يكبر ويهوى ساجدا
Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan Al-Muraadiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Qaariy – dimana ia bersama ‘Abdullah bin Al-Arqam pada jaman kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththaab dipercaya mengurus Baitul-Maal -, berkata : Bahwasannya ‘Umar pernah keluar bersama ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Qaariy pada suatu malam pada bulan Ramadlaan. Lalu mereka berkeliling masjid dan mendapatkan orang-orang di mesjid terbagi-bagi lagi tidak bersatu, seseorang shalat sendiri dan yang lainnya mengimami shalat sejumlah orang. Maka ‘Umar berkata : “Demi Allah, aku berpendapat seandainya kita kumpulkan mereka pada satu imam saja tentunya akan lebih baik”. Kemudian ‘Umar bertekad untuk itu dan memerintahkan Ubay bin Ka’b untuk mengimami shalat malam mereka di bulan Ramadlan. Lalu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang shalat di belakang satu imam, sehingga ‘Umar berkata : “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini dan yang tidur (tidak ikut) lebih utama dari yang ikut shalat – ia memaksudkan bahwa (yang shalat) di akhir malam (lebih utama), karena pada saat itu orang-orang melakukan shalat tarawih di awal malam. Mereka melaknati orang kafir pada separuh bulan Ramadlan dengan doa : ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi (orang) dari jalan-Mu, mendustakan para Rasul-Mu, dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut di hati-hati mereka, serta timpakanlah siksaan dan adzab-Mu pada mereka, wahai tuhan yang haq’. Kemudian (mereka) bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin’……” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1100].
Sanad riwayat ini shahih.

حدثنا محمد بن بكر عن ابن جربج قال قلت لعطاء القنوت في شهر رمضان قال عمر أول من قنت قلت النصف الآخر أجمع قال نعم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ (bin Abi Rabbaah) tentang qunut yang dilakukan di bulan Ramadlaan. Ia menjawab : “’Umar adalah orang yang pertama melakukan qunut”. Aku bertanya kembali : “Setengah terakhir secara keseluruhan ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].
Sanad riwayat ini shahih sampai ‘Athaa’.

حدثنا وكيع عن عباد بن راشد عن الحسن أنه كان يقنت في النصف من رمضان
.
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abbaad bin Raasyid, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya ia melakukan qunut pada setengah bulan Ramadlaan [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].
Sanad riwayat ini hasan.

حدثنا يحيى بن سعيد عن المهلب بن حبيبة قال سألت سعيد بن أبي الحسن عن القنوت فقال في النصف من رمضان كذلك علمنا
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan), dari Al-Muhallab bin Habiibah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Abil-Hasan[1] tentang qunut. Lalu ia menjawab : “Dilakukan pada setengah bulan Ramadlaan. Begitulah yang kami ketahui” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].
Sanad riwayat ini hasan.

حدثنا أزهر السمان عن ابن عون عن إبراهيم أنه كان يقول القنوت في السنة كلها قال وكان ابن سيرين لا يراه إلا في النصف من رمضان
Telah menceritakan kepada kami Azhar As-Samaan, dari Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy) : Bahwasannya ia berkata : “Qunut dilakukan sepanjang tahun”. Ia melanjutkan : “Adapun Ibnu Siiriin tidak memandang hal itu dilakukan kecuali pada setengah bulan Ramadlaan saja” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].
Sanad riwayat ini shahih.
Beberapa riwayat di atas menunjukkan di antara salaf ada yang memutlakkan qunut pada setengah bulan Ramadlan saja (tanpa menentukan awal atau akhir), dan yang lain mengatakan setengah terakhir bulan Ramadlan.

Adapun yang ternukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
حدثنا علي بن ميمون الرقي ثنا مخلد بن يزيد عن سفيان عن زبيد اليامي عن سعيد بن عبد الرحمن بن أبزي عن أبيه عن أبي بن كعب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يوتر فيقنت قبل الركوع
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Maimuun Ar-Raqiy : Telah menceritakan kepada kami Makhld bin Yaziid, dari Sufyaan, dari Zaid Al-Yaamiy, dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abziy, dari ayahnya, dari Ubay bin Ka’b : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat witir lalu qunut sebelum rukuk [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1182].

Dinyatakan shahih oleh Al-Albaaniy.
Riwayat-riwayat semisal yang marfu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kapan dilakukannya qunut, sehingga dipahami bahwa dalil itu bersifat mutlak. Yaitu, qunut witir masyru’ dilakukan sepanjang tahun (setiap waktu yang disyari’atkan). Tidak terbatas hanya bulan Ramadlaan, atau setengah bulan Ramadlaan saja.
I
nilah yang raajih, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahmahullah [lihat : http://www.binbaz.org.sa/mat/15416].

Namun seandainya ada kaum muslimin yang meninggalkan qunut pada shalat witir, maka ini tidak apa-apa, karena ia hukumnya sunnah (tidak wajib). Atau seandainya hanya melakukan pada setengah bulan Ramadlan, ini pun tidak apa-apa, karena mereka mempunyai salaf dalam perbuatan mereka.
Wallaahu a’lam.

____________________

[1] Saudaranya Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah.

Sumber: abul-jauzaa.blogspot.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Monday, August 15, 2011

Hukum Membaca Al Qur'an Melalui Komputer Atau Mushaf Dalam Shalat Tarawih

Pertanyaan:

Apakah boleh membaca Al-Quran melalui komputer ketika shalat Taraweh?

Jawaban:

Alhamdulillah

Membaca Al-Quran melalui komputer dalam sholat hukumnya sama dengan hukum membaca Al-Quran melalui mushaf. Ini adalah masalah yang sudah dikenal. Di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Kalangan mazhab Syafi'I dan Hambali membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah menyatakan batal shalat dengan membaca lewat mushaf.

Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah, 33/57-58:

"Kalangan mazhab Syafi'I dan Hambali berpendapat dibolehkannya membaca Al-Quran melalui mushaf ketika shalat. Imam Ahmad berkata, 'Tidak mengapa mengimami shalat dalam shalat malam dengan cara melihat mushaf,' Lalu ada yang bertanya, 'Bagaimana dalam shalat fardhu?' Beliau berkata, 'Aku belum pernah mendengar sedikit pun masalah ini.' Az-Zuhri ditanya tentang seseorang yang shalat di bulan Ramadan dengan cara membaca Al-Quran melalui mushaf, maka dia berkata, 'Dahulu pendapat pilihan kami adalah mereka boleh membaca melalui mushaf. Dalam Syarah Raudhut-Thalib, karangan Syekh Zakaria Al-Anshari, dinyatakan, 'Jika dia membaca Al-Quran melalui mushaf walaupun kadang-kadang harus membalik lembaran-lembarannya, hal itu tidak membatalkan shalat, karena perbuatan itu dianggap ringan atau tidak bersifat terus menerus tidak mengesankan lengah. Perbuatan sedikit yang apabila dilakukan dengan sering akan berakibat batal, jika dilakukan tanpa kebutuhan, maka dia dianggap makruh.

Sedangkan Abu Hanifa berpendapat bahwa orang yang shalat dengan membaca Al-Quran lewat mushaf, batal shalatnya, baik sedikit maupun banyak, imam atau shalat sendiri, tidak dapat membaca kecuali dengannya atau tidak. Mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifat memiliki alasan tentang batalnya shalat karena perbuatan tersebut;

Pertama, Membawa mushaf dan melihatnya serta membolak balik halaman mengakibatkan gerakan yang banyak.

Kedua, orang tersebut seakan-akan sedang dituntun oleh mushaf, maka hal itu sebagaimana dia dituntun oleh selainnya. Bagi golongan kedua, tidak ada bedanya antara konten dan benda yang dibawa, sedangkan bagi kelompok pertama, hal tersebut berbeda.

Dikecualikan dari itu jika orang tersebut hafal terhadap apa yang dia baca tanpa harus membawanya. Maka hal tersebut tidak membatalkan shalatnya. Karena bacaan itu disandingkan dengan hafalannya, bukan dari tuntunan mushaf. Sekedar melihat tanpa membawa tidak membatalkan. Kedua murid Abu Hanifah; Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa membaca Al-Quran lewat mushaf, hukumnya makruh, jika tujuannya adalah menyerupai Ahlul Kitab."

Pendapat boleh difatwakan oleh Ulama yang tergabung dalam Lajnah Da'imah Lil Ifta, Syekh Utsaimin, Syekh Abdullah bin Jibrin. Lihat jabawan DISINI

Tidak diragukan lagi bahwa yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang hafal Al-Quran dan dibaca di luar kepala.

Syekh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan hafizahullah ditanya apakah membaca melalui mushaf lebih utama daripada membaca di luar kepala? Mohon penjelasan.

Beliau menjawab,

"Jika membaca Al-Quran di luar shalat, maka membaca Al-Quran melalui mushaf lebih utama, karena lebih tepat dan lebih terjaga, kecuali jika dia membaca di luar kepala lebih mantap dan khusyu di hatinya, maka bacalah di luar kepala. Sedangkan dalam shalat, maka lebih utama membacanya di luar kepala. Karena jika dia membaca melalui mushaf akan banyak gerakan yang diulang untuk membawa mushaf, meletakkannya, membalik-balik lembarannya, melihat ke huruf-hurufnya. Demikian pula dia kehilangan kesempatan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada saat berdiri. Kadang dia juga tidak dapat merenggangkan tangan saat ruku dan sujud, jika meletakkan mushaf di ketiaknya. Karena itu, kami menguatkan pendapat bahwa orang yang shalat lebih utama baginya membaca Al-Quran di luar kepala daripada melalui mushaf.

(Al-Muntaqa Min Fatawa Al-Fauzan, 2/35, Soal Jawab, no. 16)


Di antara dampak negatif membaca melalui mushaf atau komputer atau hp dalam shalat adalah bahwa hal tersebut membunuh semangat imam untuk menghafal Al-Quran dan menghapus dorongan dalam diri untuk menghafalnya. Jika tahu bahwa dia dapat melihat mushaf atau komputer atau hp, maka dia merasa tidak perlu lagi buang-buang waktu untuk menghafal Al-Quran dan tidak bersungguh-sungguh menjaga hafalannya. Maka bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku untuk menghafal Al-Quran dan bacalah di luar kepala dalam shalat.

Wallahua'lam.

Sumber: www.islamqa.com
Piblish: artikelassunnah.blogspot.com

Saturday, August 13, 2011

Apakah Ada Perbedaan Antara Shalat Tarawih Dengan Shalat Qiyam?

Pertanyaan:
Saya ingin mengetahui perbedaan antara qiyam dan Taraweh?


Jawaban:
Alhamdulillah

Shalat Taraweh termasuk qiyamullail, bukan dua shalat yang berbeda sebagaimana orang awam menyangkanya. Qiyamullail di bulan Ramadan dinamakan shalat Taraweh,

karena ulama salaf rahimahumullah dahulu ketika menunaikan shalat tersebut, mereka istirahat pada setiap dua rakaat atau empat rakaat karena semangat mereka dalam memanjangkan shalat qiyamlail untuk memanfaatkan kesempatan pada musim pahala nan agung dan keseriusan mereka mendapat pahala yang disebutkan dalam sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:


مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخاري، رقم 36)

Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”. (HR. Bukhari, no. 36).

Sumber: www.islamqa.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Hukum Petasan Dalam Pandangan Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Bagaimana tinjauan Islam terhadap petasan dan bolehkah menjualnya?

Islam Melarang Tindak Pengrusakan

Islam sangat tidak suka dengan kekerasan dan pengrusakan, termasuk pula dalam hal menindak kejahatan. Islam sangat mencintai sikap lemah lembut kala bertindak. Tindak pengrusakan pun sangat tidak disenangi Islam. Muslim yang baik adalah yang tangan dan lisannya tidak menyakiti yang lain.

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41). Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya." (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah).

Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

"Janganlah membuat bahaya (terhadap orang yang tidak membuat bahaya terhadapmu). Janganlah pula membuat bahaya (dalam rangka membalas dendam)" (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3/77, Al Baihaqi 6/69, Al Hakim 2/66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih). Makna dalam hadits tersebut diisyaratkan oleh Ibnu Daqiq Al 'Ied berdasarkan pendapat dari sebagian ulama (Ad Durotus Salafiyah Syarhul Arba'in An Nawawiyah, 225).

Kerusakan Petasan dan Kembang Api

1. Petasan memberikan mudhorot pada orang lain bahkan untuk diri sendiri. Ada yang celaka bahkan mati gara-gara bermain petasan. Petasan pun menimbulkan bahaya karena suara bising yang ditimbulkan. Bahkan pengaruh explosive-nya bisa membahayakan orang lain. Dari dalil-dalil di atas yang kami sebutkan sudah menunjukkan terlarangnya petasan. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut.” (Syarh Al Bukhari, 1/38). Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau menimbulkan bahaya yang lebih dari itu?!

2. Membelanjakan uang untuk membeli petasan, mercon dan kembang api termasuk bentuk pemborosan karena termasuk menghambur-hamburkan bukan dalam jalan kebajikan.

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,


وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27). Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/474-475). Coba jika serupiah disumbangkan atau dishodaqohkan untuk jalan kebaikan, apalagi di bulan suci Ramadhan yang pahala semakin berlipat? Mengapa orang tua lebih senang anaknya diberi petasan padahal bisa membahayakan diri daripada memanfaatkan uangnya untuk hal yang lebih bermanfaat seperti disisihkan untuk sedekah atau beri makan berbuka? Hanya Allah yang beri taufik.

3. Asal muasal tradisi petasan dan kembang api sebenarnya bukan dari Islam tetapi dari budaya non muslim, yaitu dari negeri Cina. Tradisi petasan dan kembang api sendiri bermula di Cina pada abad ke-11, kemudian menyebar ke Jazirah Arabia pada abad ke-13 dan selanjutnya ke daerah-daerah lain. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad 2/50 dan Abu Daud no. 4031. Shahih, kata Syaikh Al Albani).

Jual Beli Petasan dan Kembang Api

Islam melarang jual beli yang berdampak buruk pada orang banyak. Oleh karenanya, Islam melarang menimbun barang sehingga memudhorotkan orang banyak. Begitu pula Islam melarang pedagang luar kota dicegat masuk ke dalam kota, lalu barangnya dibeli. Akhirnya harga barang tersebut bertambah mahal dan memudhorotkan orang banyak, beda halnya jika pedagang pertama menjualnya sendiri. Karena sebab menimbulkan bahaya pada orang lain bahkan pada diri sendiri, jual beli petasan dan kembang api adalah jual beli yang terlarang.

Islam cinta kedamaian dan benci pengrusakan.


Wallahu waliyyut taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.


Sumber: www.rumaysho.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Thursday, August 11, 2011

Manfaat Berpuasa Untuk Penyakit Kulit

Sesungguhnya puasa berguna dalam pengobatan penyakit kulit, dan sebabnya adalah bahwa puasa menjadikan persentase air dalam darah berkurang, yang selanjutnya mengurangi jumlah kadar air dalam kulit. Yang hal itu menyebabkan:

  • Meningkatnya kekebalan kulit dan ketahanan terhadap mikroba dan penyakit menular yang diakibatkan oleh virus.

  • Mengurangi tingkat keparahan penyakit kulit yang menyebar di sebagian besar daerah tubuh seperti penyakit psoriasis (psoriasis:adalah sejenis penyakit kulit yang penderita nya mengalami proses pergantian (kulit) yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini kadang-kadang dalam jangka waktu lama atau kambuhan dalam waktu yang tidak menentu).

  • Mengurangi penyakit alergi dan membatasi permaslahan-permasalahan kulit yang berkaitan dengan lemak.

  • Dengan puasa berkurang sekresi usus racun yang menyebabkan racun dan mengurangi fermentasi, yang menyebabkan abses dan bisul yang berkelanjutan.

Ibu Ilham Hussein, seorang ibu rumah tangga Mesir berkata:” "Ketika saya berumur sepuluh tahun saya tertimpa kondisi psoriasis parah, penyakit yang muncul dalam bentuk bercak merah yang ditutupi dengan lapisan kulit tebal. Saya tidak memiliki harapan untuk sembuh sepanjang hari-hari itu, setelah jumlah dermatologists terkenal di Mesir mengatakan kepada orang tuaku:’Anda harus terbiasa dengan hal ini (penyakit ini), kalian dan anak perempuan kalian harus hidup berdampingan (beradaptasi) dengan penyakit psoriasis, mereka tamu yang berat dan tahan lama’"

"Pada dekade kedua kehidupan saya, dan ketika mendekati usia perkawinan, aku menderita depresi dan isolasi dari masyarakat, dan aku merasa sempit di dada yang tak tertahankan. Dan akhirnya, salah seorang teman bapaku yang konsisten dalam agama menyarankan agar aku berpuasa. Dia berkata kepadaku:” Putriku cobalah berpuasa hari dan berbuka satu hari. Sungguh puasa telah mengobati penyakit-penyakit istri saya, yang mana dokter tidak tahu cara penyembuhannya. Tapi ketahuilah (ingatlah), bahwa yang menyembuhkan adalah Allah dan bahwa sebab-sebab kesembuhan semuanya di tangan-Nya, maka pertama-tama mohonlah kesembuhan dari penyakitmu kepada Allah, kemudian berpuasalah setelah itu."

Maka aku pun benar-benar mulai berpuasa, setelah sebelumnya aku telah mencari-cari harapan yang mengeluarkanku dari neraka (penyakit) yang mengelilingiku. Dan aku terbiasa untuk berbuka puasa dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, kemudian setelah tiga jam aku makan menu pokok saya, dan begitulah seterusnya (sehari aku berpuasa dan sehari tidak). Dan sesuatu yang mengejutkan dan menakjubkan untuk semua adalah bahwa penyakit yang aku derita mulai menurun setelah dua bulan dari mulai aku berpuasa. Aku tidak mepercayai diriku sendiri, aku merasa diriku telah normal dan aku melihat bekas dari penyakit ini hari demi hari memudar, sampai pada akhirnya seolah-olah kulitku tidak pernah tertimpa terjangkiti penyakit ini selama hidupku."

(Sumber: disarkan dari فوائده الصحية dari http://www.khayma.com/ashab/taab_alabadat_malafat/alsuam-foued.htm, www.alsofwah.or.id
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Wednesday, August 10, 2011

Mana Yang Harus Didahulukan, Sibuk Menjawab Adzan Atau Menyegerakan Berbuka (Puasa)?

Pertanyaan:

Ada yang mengatakan bahwa mendengarkan azan adalah wajib, akan tetapi apa hukumnya bagi orang yang berbuka puasa ketika mendengarkan azan magrib? Apakah dimaafkan karena dia memulai makan buka puasa? Dan apa hukum yang sama ketika sahur sewaktu azan fajar?

Jawaban:

Alhamdulillah,

Para ulama’ berbeda pendapat (tentang) hukum menjawab azan dan mengikutinya ucapan adzan. Yang benar –pendapat kebanyakan ulama- bahwa mengikuti azan adalah sunnah, tidak wajib. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’, (3/127): “Madzhab kami adalah bahwa mengikuti (ucapan azan) adalah sunnah, bukan wajib. Ini adalah pendapat kebanyakan (jumhur) ulama (sebagaimana) diceritakan oleh Ath-Thahawi. (Pendapat ini) berbeda dengan (pendapat) sebagian ulama yang mewajibkannya.”

Dalam kitab Al-Mughni (1/256) diriwayatkan dari Imam Ahmad, beliau berkata: ”Kalau dia tidak mengucapkan seperti ucapan (muadzin) maka tidak mengapa.”

Yang menunjukkan hal tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada Malik bin Al-Huwairits dan orang bersamanya: ”Jika datang (waktu) shalat, hendaklah salah satu di antara kamu (mengumandangkan) azan dan hendaklah orang yang lebih tua menjadi imam.

Hal ini menunjukkan bahwa mengikuti (muadzin) tidak wajib. Kesimpulan dari dalilnya adalah waktu itu adalah saatnya untuk mengajarkan dan memberikan penjelasan yang perlu untuk dijelaskan. Sedangkan mereka adalah rombongan yang belum mengetahui terhadap apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentang mengikuti (ucapan) azan. Maka, ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak memerintahkan mereka, padahal (waktu itu) sangat dibutuhkan –dan mereka sebagai utusan yang tinggal selama dua puluh hari kemudian pulang- menunjukkan bahwa menjawab (azan) tidak wajib. Pendapat ini lebih dekat dan lebih kuat”. (Syahul-Mumti’, 2/75)

Malik meriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa (1/103) dari Ibnu Syihab dari Tsa’labah bin Abi Malik Al-Quradhi, sesungguhnya dia mengabarkan: “Bahwa mereka pada zaman Umar bin Al-Khatab baru mulai menunaikan shalat Jum’at jika Umar keluar. Kalau Umar sudah keluar dan naik mimbar dan muazain (mengumandangkan) azan. –Ketika itu sebagaimana dikatakan Tsa’labah- “Kami duduk dan saling berbincang”. Ketika muadzin telah selesai (mengumandangkan adzan) dan Umar berdiri memulai khutbah, baru kami diam dan tak ada seorang pun yang berbicara.”

Ibnu Syihab berkata: “Keluarnya Imam (menuju mimbar khutbah) memutus shalat dan perkataannya (ketika imam mulai khutbah) memutus pembicaraan”.

Syaikh Al-Albany rahimahullah berkata dalam kitab Tamamul Minnah (340): “Atsar ini (riwayat dari shahabat) merupakan dalil tidak wajibnya menjawab muadzin, karena berbincang sewaktu terdengar azan telah diamalkan pada zaman Umar dan beliau mendiamkannya. Saya sering ditanya tentang dalil yang mengalihkan perintah menjawah azan dari (hukum) wajib? Maka saya menjawab dengan (dalil) ini”

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka tidak berdosa bagi yang tidak menjawab muazin dan tidak mengikutinya. Baik disibukkan dengan makanan atau lainnya, akan tetapi dia kehilangan pahala yang agung di sisi Allah Ta’ala.

Telah diriwayatkan Muslim (385) dari Umar bin Al-Khatab radhiallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:


إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . فَقَالَ أَحَدُكُمْ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ . قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ . ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . قَالَ : أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . ثُمَّ قَالَ : حَيَّ عَلَى الصَّلاةِ . قَالَ : لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ . ثُمَّ قَالَ : حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ . قَالَ : لا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ . ثُمَّ قَالَ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . قَالَ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . ثُمَّ قَالَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ . قَالَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Jika muadzin mengucapkan Allahu akbar allahu akbar (Allah Maha Besar Allah Maha Besar), maka hendaklah seseorang mengucapkan Allahu Akbar, Allahu akbar, kemudian jika dia (muadzin) mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah (aku bersaksi tiada tuhan yang hak untuk diibadahi melainkan Allah) maka mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah, kemudian jika dia (muadzin) mengcapkan Asyhadu annaa Muhammadarrasuulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), maka dia mengucapkan Asyhadu annaa Muhammadarrasuulullahِ. Kemudian, jika dia (muadzin) mengucapkan hayyaa 'alashshalaah (Mari menunaikan shalat), hendaklah dia mengucapkan Laa haula walaa quwwataa illaa billaah (Tiada daya dan kekuatan melainkan dari Allah). Kemudian jika (muadzin) mengucapkan hayaa 'alal falaah (Mari meraih kemenangan), maka hendaknya dia mengucapkan Laa haula walaa quwwataa illaa billaah. Kemudian jika (muadzin) mengucapkan Allahu Akbar, Allahu akbar, (maka dia mengikuti dengan) mengucapkan Allahu Akbar, Allahu akbar . Kemudian (jika muadzin) mengucapkan Laa ilaaha illallah (Tiada tuhan yang hak untuk diibadahi melainkan Allah). (Maka dia mengikuti dengan) mengucapkan Laa ilaaha illallah. (Jika semua itu diucapkan ikhlas) dari hatinya, maka (dia akan) masuk surga."

Tidak ada kontradiksi antara menyegerakan berbuka puasa dengan mengikuti (ucapan) muadzin. Orang yang berpuasa dapat bersegera berbuka langsung saat matahari telah tebenam, sementara pada waktu yang sama (dia dapat juga menjawab ucapan muazin. Maka dia dapat menggabungkan antara dua keutamaan. Keutamaan menyegerakan berbuka dan keutamaan menjawab (ucapan) muadzin. Orang-orang dahulu dan sekarang terbiasa berbicara ketika sedang makan. Mereka tidak menganggap makanan sebagai penghalang untuk berbicara. Perlu diperhatikan juga bahwa berbuka boleh dengan apa saja yang dapat dimakan orang yang berpuasa meskipun hanya sedikit saja seperti kurma atau seteguk air. Maksudnya bukan berarti dia harus makan sampai kenyang. Pembahasan ini juga berlaku ketika azan fajar (pertama sebelum masuk waktu fajar) sementara dia sedang makan sahur. Maka mungkin digabungkan (antara makan dan menjawab ucapan muadzin) tanpa ada kesulitan yang berarti. Akan tetapi, apabila muazin (telah mengumandangkan) azan Fajar setelah masuk waktu (Fajar), maka seseorang tidak boleh lagi makan dan minum apabila telah mendengarkan azannya.

Wallahu’alam.

[Sumber: Soal Jawab Tentang Islam di http://www.islamqa.com/id]
Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Tuesday, August 9, 2011

LIPIA Membuka Kuliah Jarak Jauh

PENDAFTARAN

Al-Imam Muhammad bin Saud Islamic University membuka program S1 kuliah jarak jauh jurusan Syariah, tahun ajaran 2011-2012. Program ditempuh dalam 9 Semester. Semester I untuk Daurah Ta`hiliyah dan semester II-IX untuk prodi Syariah.

Tempat Pendaftaran:

Gedung B, lt. 2, LIPIA, Jl. Buncit Raya, No. 5A, Ragunan, Jaksel

Telp. 021-36604000. Fax. 021-7826002

Pendaftaran juga bisa dilakukan secara online dari www.lipia.org atau melalui E mail: kuliahjarakjauh@lipia.org

Syarat-Syarat:

1. Berbahasa Arab.
2. Menyelesaikan pendidikan tingkat SMU/sederajat.
3. Cakap berinteraksi dengan internet.
4. Melengkapi dokumen dan persyaratan penerimaan yang berlaku.

Dokumen yang diperlukan:

1. Kopi Ijazah SMU/sederajat yang dilegalisir.
2. Raport terakhir SMU.
3. SKCK.
4. Kopi KTP.
5. Formulir pendaftaran.
6. Pas photo ukuran 4×6 (4 lbr).
7. Rekomendasi dari tokoh atau Lembaga yang dikenal.

Untuk informasi lebih jauh, silahkan kunjungi situs program:

http://www.imamu.edu.sa/support_deanery/e_learn

[Sumber: Berita dinukil dari www.qiblati.com, www.alsofwah.or.id]

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Saturday, August 6, 2011

Apabila Keluar Darah Haid Sebelum Terbenamnya Matahari, Apakah Membatalkan Puasa?

Pertanyaan:
Apakah kalau datang bulanan disela-sela puasa, apakah menyempurnakan puasa atau tidak?

Jawaban:
Alhamdulillah

Kalau seorang wanita datang haid disela-sela puasa, maka puasanya rusak. Meskipun keluarnya darah sebantar saja sebelum terbenam matahari. Maka dia diwajibkan mengqodo’ kalau itu puasa wajib. Dan diharamkan melanjutkan puasa sementara dia dalam kondisi haid.

An-Nawawi rahimahullah dalam kitab ‘Al-Majmu’, 2/386 berkata, ‘Umat berijma’ akan keharaman puasa bagi orang haid dan nifas. Dan tidak sah puasanya. Begitu juga umat berijma’ diharuskan mengqodo’ untuk puasa Ramadan. Yang menukil ijma’ Tirmizi, Ibnu Munzir, Ibnu Jarir, teman-teman kami dan ulama’ lainnya.’ Selesai dengan ringkasan.

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab ‘AL-Mugni, 4397 berkata, ‘Ahli ilmu telah bersepakat (Ijma’) bahwa orang haid dannifas tidak dihalalkan untuk berpuasa. Keduanya berbuka di bulan Ramadan dan mengqodo’nya. Keduanya kalau berpuasa tidak diterima. Dimana Aisyah radhiallahu’anha berkata, ‘Kami dahulu haid pada masa Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam kemudian kami diperintahkan untuk mengqodo’ puasa dan tidak diperintahkan mengqodo’ shalat.’ Muttafaq ‘alaihi. Perintah hal itu hanya dari Nabi sallallahu’alahi wa sallam. Abu Said berkata, ‘Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

(أَلَيْسَ إحْدَاكُنَّ إذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ , فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا) . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Bukankan salah satu diantara kamu semua, ketika haid tidak shalat dan tidak puasa? Itu adalah diantara kekurangan agamanya.’ HR. Bukhori.

Orang haid dan orang nifas sama, karena darah nifas adalah darah haid. Hukum keduanya sama. Kapan saja waktu siang mendapatkan setitik darah (haid) maka, rusak puasa hari itu. baik didapatkan awal waktu atau di akhirnya. Kapan saja orang haid berniat puasa dan menahan (dari pembatal puasa) sementara dia mengetahui akan keharaman hal itu, maka dia berdosa dan (puasanya) tidak diterima.’ Selesai

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam kitab ‘Ad-Dima’ Tobi’iyyah Lin Nisa’ hal. 28 berkata, ‘Kalau dia haid dalam kondisi puasa, maka puasanya batal meskipun hal itu terjadi sekejap menjelang terbenam matahari. Dan diharuskan mengqodonya kalau itu puasa wajib. Sementara kalau merasakan sakit akan datang haid sebelum terbenam matahari dan tidak keluar (darah) kecuali telah terbenam matahari, maka puasanya sempurna tidak batal menurut pendapat yang kuat. Selesai.

Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/155 ditanya tentang wanita puasa dan sebelum terbenam matahari dan sebelum azan dalam waktu singkat datang haid, apakah puasanya batal?

Maka dijawab, ‘Kalau haid datnag sebelum terbenam matahari, maka puasanya batal dan harus diqodo’. Kalau setelah terbenam matahari, maka puasanya sah tidak perlu mengqodo’nya.’ Selesai .

sumber: www.islam-qa.com
Publish: artikelassunnah.blogspot.com