Saturday, October 29, 2011

Mana Yang Afdhol Kurban Sapi Tujuh Orang Atau Satu Kambing Sendiri?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum.  Umumnya masyarakat di tempat kami lebih menyuukai urunan atau patungan sapi dari pada kurban kambing (perorangan). Mana yg lebih afdhal, ikut urunan sapi atau kurban sendiri dengan satu kambing? Jazaakumullah khoiran

Tri S.


Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam
Sebagian ulama menjelaskan, kurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau unta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (Shahih Fiqh Sunnah, 2:375, Fatwa Lajnah
Daimah no. 1149 dan Syarhul Mumthi’ 7:458).

Imam As-Saerazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Kambing (sendirian) lebih baik dari pada urunan sapi tujuh orang. Karena orang yang berkurban bisa menumpahkan darah (menyembelih) sendirian.” (Al Muhadzab 1:74).

Di antara alasan lain yang menunjukkan lebih utama kurban sendiri dengan seekor kambing adalah sebagai berikut:
Kurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun unta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 unta (urunan dengan sahabat).

Kegiatan menyembelihnya menjadi lebih banyak. Ada hadis yang menyebutkan keutamaan menumpahkan darah ketika ‘Idul Adha, namun hadisnya lemah.

Ada sebagian ulama yang melarang urunan dalam berkurban, diantaranya adalah Mufti Negeri Saudi, Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa Lajnah Daimah 11:453). Namun pelarangan ini didasari dengan kiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunah, sehingga jelas salahnya. Akan tetapi, berkurban dengan satu ekor binatang utuh, setidaknya akan mengeluarkan kita dari perselisihan ulama.

Allahu a’lam

Sumber: konsultasisyariah.com

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Thursday, October 27, 2011

Hukum Berkurban Satu Ekor Kambing Untuk Sekeluarga

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum ustadz. Apa hukumnya berkurban 1 ekor kambing dengan niat bukan perorangan tapi untuk 1 keluarga ?
Syukron, jazakumullah atas jawabannya.

Penanya: kotjip_XXXXX@yahoo.com

Jawaban:

Wa’alaikumussalam
Seekor kambing cukup untuk kurban satu keluarga, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan,


كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِه

”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi, ia menilainya shahih, Minhaajul Muslim, Hal. 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan kurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu. Misalnya, kurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika rasulullah hendak menyembelih kambing kurban, sebelum menyembelih rasulullah mengatakan,

اللّهُمّ هَذَا عَنِّي، وَعَمَّنْ لَـمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Ya Allah ini –kurban– dariku dan dari umatku yang tidak berkurban.” (HR. Abu Daud, no.2810 dan Al-Hakim 4:229 dan dishahihkan Syekh Al-Albani dalam Al Irwa’ 4:349).

Berdasarkan hadits ini, Syekh Ali bin Hasan Al-Halaby mengatakan, “Kaum muslimin yang tidak mampu berkurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berkurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ahkamul Idain, Hal. 79)

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan kurban unta hanya boleh dari maksimal 10 orang. Allahu a’lam.

Batasan “anggota keluarga” yang tercakup dalam pahala berkurban


Siapa saja anggota keluarga yang tercakup dalam kegiatan berkurban seekor kambing?

Ulama berselisih pendapat tentang batasan “anggota keluarga” yang mencukupi satu hewan kqurban.
Pertama, masih dianggap anggota keluarga, jika terpenuhi 3 hal: tinggal bersama, ada hubungan kekerabatan, dan sohibul kurban menanggung nafkah semuanya. Ini adalah pendapat Madzhab Maliki. Sebagaimana yang ditegaskan dalam At-Taj wa Iklil –salah satu kitab Madzhab Maliki- (4:364).

Kedua, semua orang yang berhak mendapatkan nafkah sohibul kurban. Ini adalah pendapat ulama mutaakhir (kontemporer) di Madzhab Syafi’i.

Ketiga, semua orang yang tinggal serumah dengan sohibul kurban, meskipun bukan kerabatnya. Ini adalah pendapat beberapa ulama syafi’iyah, seperti As-Syarbini, Ar-Ramli, dan At-Thablawi. Imam ar-Ramli ditanya:

Apakah bisa dilaksanakan ibadah kurban untuk sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah, meskipun tidak ada hubungan kekerabatan di antara mereka?

Ia menjawab, “Ya bisa dilaksanakan.” (Fatawa Aar-Ramli, 4:67)

Sementara Al-Haitami mengomentari fatwa Ar-Ramli, dengan mengatakan,

“Mungkin maksudnya adalah kerabatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Bisa juga yang dimaksud dengan ahlul bait (keluarga) di sini adalah semua orang yang mendapatkan nafkah dari satu orang, meskipun ada orang yang aslinya tidak wajib dinafkahi. Sementara perkataan sahabat Abu Ayub: “Seorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya” memungkinkan untuk dipahami dengan dua makna tersebut. Bisa juga dipahami sebagaimana zahir hadits, yaitu setiap orang yang tinggal dalam satu rumah, interaksi mereka jadi satu, meskipun tidak ada hubungan kekerabatan. Ini merupakan pendapat sebagian ulama. Akan tetapi terlalu jauh (dari kebenaran). (Tuhfatul Muhtaj, 9:340).

Kesimpulannya, sebatas tinggal dalam satu rumah, tidak bisa dikatakan sebagai ahli bait (keluarga). Batasan yang mungkin lebih tepat adalah batasan yang diberikan ulama Madzhab Maliki. Sekelompok orang bisa tercakup ahlul bait (keluarga) kurban, jika terpenuhi tiga syarat: tinggal bersama, ada hubungan kekerabatan, dan tanggungan nafkah mereka sama dari kepala keluarga.

Allahu a’lam.

Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/160395/,الأضحية http://konsultasisyariah.com/kurban-satu-ekor-kambing-untuk-sekeluarga


Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Monday, October 24, 2011

Hukum Berkurban Dengan Hewan Yg Cacat Karena Kecelakaan

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, ana mau bertanya.
ketika hari kurban, ada orang mau kurban kambing. Pada saat akan diturunkan dari mobil untuk disembelih, kambing itu terjepit kemudian jatuh sehingga jadi pincang. Apakah masih boleh dikurbankan? Syukron..

Abu Ahmad Jogja

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam

Jika kecelakaan yang terjadi pada hewan ini di luar kesengajaan pemilik dan bukan karena keteledoran pemilik, maka boleh untuk disembelih dengan niat kurban dan dihukumi sebagai kurban yang sah.


Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika seseorang telah menentukan hewan yang sehat dan bebas dari cacat untuk kurban, kemudian mengalami cacat yang seharusnya tidak boleh untuk dikurbankan, maka dia boleh menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Keterangan ini merupakan pendapat Atha’, Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, Az-Zuhri, At-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ishaq bin Rahuyah.” (Al-Mughni, 13:373).

Dalil yang menunjukkan bolehnya hal ini adalah sebuah riwayat yang disebutkan Al-Baihaqi, dari Ibnu Zubair radliallahu ‘anhu, bahwa hewan kurban berupa unta yang buta sebelah didatangkan kepadanya. Kemudian ia mengatakan, “Jika hewan ini mengalami cacat matanya setelah kalian membelinya maka lanjutkan berkurban dengan hewan ini. Namun jika cacat ini sudah ada sebelum kalian membelinya maka gantilah dengan hewan lain.” Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Sanad riwayat ini sahih.” (Al-Majmu’, 8:328).

Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan dalam Ahkam al-Udhiyah wa Dzakah, Hal. 10. Jika hewan yang hendak dijadikan kurban mengalami cacat, maka ada dua keadaan:

a. Cacat tersebut disebabkan perbuatan atau keteledoran pemiliknya maka wajib diganti dengan yang sama sifat dan ciri-cirinya atau yang lebih baik dari hewan tersebut. Selanjutnya, hewan yang cacat tadi menjadi miliknya dan dapat dia manfaatkan sesuai keinginannya.

b. Cacat tersebut bukan karena perbuatannya dan bukan karena keteledorannya, maka dia dibolehkan untuk menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Karena hewan ini adalah amanah yang dia pegang, sehingga ketika mengalami sesuatu yang di luar perbuatan dan keteledorannya maka tidak ada masalah dan tidak ada tanggungan untuk mengganti.

Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/39191,http://konsultasisyariah.com/hewan-kurban-cacat-karena-kecelakaan

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Saturday, October 22, 2011

Hukum Bersumpah Dengan Al-Qur'an

Pertanyaan:

“Ustadz, bagaimana hukumnya bersumpah dengan Alquran? Apakan dibenarkan? Apabila dibenarkan, bagaimana dengan konsekuensinya? syukron”

Diyah  (cteXXXXXX@yahoo.com)

Jawaban:

Bersumpah Dengan Alquran 

Bismillah..
Pertama, Al-Quran adalah kalamullah (perkataan Allah, pen.) dan kalamullah adalah sifat Allah, bukan makhluk. Ini merupakan akidah ahlus sunnah wal jamaah. Imam Ahmad mengatakan dalam Ushulus Sunnah (no. 22):



والقرآن كلام الله وليس بمخلوق 

Alquran adalah firman Allah dan bukan makhluk.”

Ia juga mengatakan:

فإن كلام الله ليس ببائن منه وليس منه شيء مخلوقا

Karena sesungguhnya firman Allah tidaklah terpisah dari-Nya dan tidak ada bagian dari kalam Allah yang berupa makhluk

Imam Ahmad menegaskan:

ومن وقف فيه فقال لا أدري مخلوق أو ليس بمخلوق وإنما هو كلام الله فهذا صاحب بدعة

Siapa yang mengambil sikap tengah, dan mengatakan, ‘Saya tidak tahu, apakah Alquran itu makhluk ataukah bukan makhluk, yang jelas dia kalam Allah’, maka orang yang mengatakan demikian adalah ahli bid’ah

Karena Alquran kalam Allah dan salah satu sifat Allah maka diperbolehkan bagi kita untuk bersumpah dengan Alquran, dan ini tidak termasuk kesyirikan. Karena manusia boleh bersumpah dengan sifat Allah.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum bersumpah dengan Alquran, Syekh menjawab, “…Bersumpah dengan Alquran hukumnya boleh. Karena Alquran adalah firman Allah, dimana Allah berfirman secara hakiki dengan lafadz dan maksud menyampaikan maknanya. Allah ta’ala disifati dengan Al-Kalam. Dengan demikian, bersumpah dengan menyebut Alquran pada hakikatnya meruapakan sumpah dengan salah satu sifat Allah, hukumnya boleh.” (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 2:218).

Kedua, karena bersumpah dengan Alquran hukumnya sah maka konsekwensi bersumpah dengan Alquran sama dengan konsekwensi bersumpah dengan menyebut nama Allah. Artinya, sumpah itu wajib dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan isi sumpahnya maka ia wajib membayar kaffarah (denda) sumpah tersebut.
Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Sumber: konsultasisyariah.com

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Wednesday, October 19, 2011

Mana Yang Harus Didahulukan Akikah Atau Qurban?

Pertanyaan,

“Assalamu’alaikum Ustadz. Tahun ini insyaAllah saya akan kurban, tapi orang tua saya mengatakan bahwasanya saya belum diakikahi oleh orang tua. Menurut mereka hendaknya saya mendahulukan akikah terlebih dahulu. Bagaimana pandangan syariat mengenai hal ini?”

Andi

(ibnXXXXXXXX@gmail.com)

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam

Akikah dan kurban, mana yang lebih didahulukan?
 Mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah maupun kurban hukumnya sunah muakkad (yang sangat ditekankan). Disebutkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره

“Apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijah dan kalian hendak berkurban maka jangan menyentuh rambut dan kukunya.”

Kalimat: ‘hendak berkurban’ menunjukkan bahwa kurban hukumnya sunah dan tidak wajib.

Berdasarkan hal ini, yang terbaik adalah seseorang melaksanakan kedua sunah tersebut bersamaan. Karena keduanya dianjurkan untuk dilaksanakan. Jika tidak mampu melakukan keduanya dan waktu akikah berbeda di selain hari kurban, maka hendaknya mendahulukan yang lebih awal waktu pelaksanaannya. Akan tetapi jika akikahnya bertepatan dengan hari raya kurban, dan tidak mampu untuk menyembelih dua ekor kambing untuk akikah dan satunya untuk kurban, pendapat yang lebih kuat, sebaiknya mengambil pendapat ulama yang membolehkan menggabungkan akikah dan kurban.
Allahu a’lam 

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=44768, http://konsultasisyariah.com/kurban-atau-akikah-dulu

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Tuesday, October 18, 2011

Hadang Calon Jamaah Haji Ilegal, Arab Saudi Siapkan 400 Tentara

Mina - Pemerintah Arab Saudi menyiapkan 400 personel tentara untuk menghadang calon jemaah haji ilegal yang masuk melalui jalan-jalan gurun pasir.

Saat jumpa pers pada Senin (17/10/2011), Mayjen Nasser Al Arfaj selaku komandan pasukan kemanan pasukan haji mengatakan, "Kami telah terjunkan 400 petugas untuk memonitor dan menghentikan mereka yang mencoba menyusup ke zona haji melalui jalan-jalan gurun pasir."

Menurutnya, ada sejumlah perubahan rencana keamanan haji tahun ini dibandingkan tahun lalu, utamanya terkait masalah lalu lintas dan transportasi, setelah ada kajian mendalam bersama Kementerian Urusan Kota dan Desa.


"Kami juga telah mempertimbangkan kajian yang telah kita pelajari di tahun-tahun terakhir sembari mempersiapkan rencana dan mengadopsi metode baru yang akan meningkatkan pelayanan dan membuat jamaah senang," katanya.

Al-Arfaj mengatakan sebagian besar petugas yang diterjunkan dalam pengamanan haji kaya pengalaman dalam menangani jamaah dengan cara yang efisien.

"Kami telah menyiapkan titik pengecekan (check points) di semua pintu masuk ke Makkah. Hal ini akan mencegah masuknya orang-orang yang tidak memiliki izin yang sah haji dan mengurangi jumlah jamaah ilegal, "ungkapnya.

Tidak ada perubahan besar dalam rencana lalu lintas untuk pergerakan jamaah haji antara tempat-tempat suci di Mina, Arafah dan Muzdalifah selama hari-hari puncak haji.
Dia menekankan, kereta monorel Mashair akan mengangkut lebih dari 400.000 jamaah tahun ini sehingga mampu mengurangi jumlah bus di jalan.(arb/sic)

Disadur: www.alsofwah.or.id

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Saturday, October 15, 2011

Hukum Berkurban Secara Online

Pertanyaan,

“Assalamu alaikum. Bagaimana hukum kurban online, sistemnya: orang yang hendak kurban mentransfer sejumlah uang sesuai dengan yang ditetapkan lembaga sosial tertentu, untuk dibelikan kambing kurban dan disembelih di tempat yang ditentukan lembaga tersebut. Demikian, mohon pencerahannya.”

Arriqa Fauqi

***

Hukum kurban online 

Wa ‘alaikumus salam.



Bismillah…
 Kasus yang anda sampaikan prinsipnya sama dengan mengirim hewan kurbanke luar daerah atau mengirim sejumlah uang untuk digunakan berkurbandi luar daerah.

Satu hal yang penting untuk kita pahami, bahwa pada asalnya, tempat menyembelih kurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena demikianlah yang dipraktekkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Bahkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah sangat memotivasi masyarakat agar berkurban di daerah di mana dia berada. Meskipun, masyarakat setempat sudah mampu atau tergolong kaya. Karena tujuan utama berkurban, bukan semata-mata mendapatkan dagingnya, tapi lebih pada menerapkan sunah dan syiar kaum muslimin. Allah berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada-Nya adalah takwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)

Bagian dari bertakwa kepada Allah ketika berkurban adalah menjaga sunah dan syiar dalam berkurban. Sementara ketika mengirim hewan kurban ke luar daerah, dipastikan akan ada beberapa sunah yang hilang. Diantara sunah yang tidak terlaksana ketika seseorang mengirim hewan kurban ke luar daerah adalah:

Pertama, Dzikir kepada Allah ketika penyembelihan hewan kurban. Allah berfirman, ketika menjelaskan tentang berkurban,

فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا 

Sebutlah nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS. Al-Haj: 36)

Sahibul kurban tidak bisa melakukan ajaran ini, jika hewan kurbannya di sembelih di tempat lain.

Kedua, menyembelih hewan kurban sendiri atau turut menyaksikan penyembelihan hewan kurbannya, jika diwakilkan kepada orang lain. Menyerahkan hewan kurban ke daerah lain, tidak akan mendapatkan keutamaan ini.

Ketiga, makan daging kurban dianjurkan bagi sahibul kurban untuk memakan bagian hewan kurbannya. Allah berfirman,

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Makanlah bagian hewan kurbantersebut dan sedekahkan kepada orang yang membutuhkan,” (QS. Al-Haj: 28)

Keempat, Sahibul kurban tidak mengetahui kapan hewannya disembelih. Sementara sahibul kurban disyariatkan untuk tidak potong kuku maupun rambut, sampai hewan kurbannya disembelih.

Berdasarkan alasan ini, beliau melarang mengirim hewan kurban dalam keadaan hidup maupun mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan kurban dan disembelih di tempat lain. (Liqa’at Bab al-Maftuh, volume 92, no. 4)

Solusi yang bisa dilakukan adalah menyembelih di tempat sendiri, selanjutnya sohibul kurbanbisa mendistribusikan daging kurbanke manapun, sesuai kehendaknya.

Allahu a’lam.

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Sumber: konsultasisyariah.com

Publish: artikelassunnah.blogspot.com

Wednesday, October 12, 2011

Bolehkah Berkurban Dengan Kambing Betina?

Pertanyaan,

‘Assalamu alaikum, maaf mau tanya, apakah hewan kurban harus jantan? Boleh tidak berkurban dengan kambing betina?

Jazaakumullah khairan

Tri jogja (trXXXXX@yahoo.com)

Kurban dengan Kambing Betina Wa alaikumus salam… 



Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan kurban. Sehingga boleh berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Dalilnya, hadis dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

, عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو إناثا

“Akikah untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (H.r. Ahmad 27900 dan An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani).

Berdasarkan hadis ini, As Sayrazi As Syafi’i mengatakan, “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika akikah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berkurban.” (Al Muhadzab 1/74).

Hanya saja, bagi Anda yang mampu membeli hewan jantan, sebaiknya tidak berkurban dengan betina. Mengingat hewan jantan umumnya lebih mahal dan lebih bagus dari pada betina. Sementara kita disyariatkan agar memilih hewan sebaik mungkin untuk kurban. Sehingga pahalanya lebih besar. Allah berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ 

“Siapa yang mengagungkan syiar Allah maka itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Q.s. Al-Haj: 32)

Ibn Abbas mengatakan, “Mengagungkan syiar Allah (dalam berkurban) adalah dengan mencari yang paling gemuk dan paling bagus.” (Tafsir Ibn Katsir, 5/421)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Sumber: konsultasisyariah.com

Publish: artikelassunnah.blogspot.com


Monday, October 10, 2011

Bergerak Mencari Sutroh Saat Sholat

Pertanyaan:
 
Assalamu’alaikum ustad
Apakah perlu suatu pembatas dalam shalat
Bolehkah kita bergerak maju ke dpn dalam shalat?


Faris dais.faris@yahoo.com

Dijawab oleh

Ustadz Aris Munandar, M.A.
Temukan jawabannya dalam video berikut ini.








Download


Sumber: yufid.tv

Diupload ulang oleh: artikelassunnah.blogspot.com

Wednesday, October 5, 2011

Bolehkah Mengumandangkan Adzan, Iqomah Sekaligus Menjadi Imam?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum ustadz, saya mau tanya beberapa pertanyaan, ‘Apakah boleh imam mengumandangkan adzan, iqamah sekaligus menjadi imam bagi makmumnya. tapi hal ini bukan dimasjid tapi mengimami shalat wajib dirumah.’ Jika boleh, tolong sertakan dalilnya ustad. Jazakallahu khair ustadz, barakallahu fiik.

Hamba allah(islaXXXXXX@rocketmail.com)

Jawaban:

Azan, Iqamah, dan merangkap menjadi imam 
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah…


Diperbolehkan bagi imam masjid untuk melakukan azan, iqamah, dan sekaligus menjadi imam. Dalam Mawahibul Jalil dikatakan,

“Siapa yang memperkerjakan seseorang untuk menjadi muazin, iqamah, dan menjadi imam, maka ini diperbolehkan. Upah yang diberikan adalah sebagai ganti untuk usahanya dalam menjaga azan, iqamah, dan menjaga masjid, bukan untuk shalatnya.”

Demikian pula dibolehkan seseorang hanya melakukan adzan dan iqamah tanpa menjadi imam. An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Majmu’, ‘Kaum muslimin sepakat bolehnya seorang muazin menjadi imam, bahkan dianjurkan. Penulis kitab Al-Hawi mengatakan, ‘Masing-masing, antara azan dan iqamah memiliki keutamaan.’”

Oleh karena itu, orang yang memungkinkan menggabungkan antara tiga hal tersebut; azan, iqamah, dan menjadi imam maka itu lebih utama. Adapun, praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafaur rasyidin, di mana mereka tidak pernah melakukan azan dan sekaligus menjadi imam, karena kesibukan mereka dengan urusan yang lebih penting, dari pada sekedar azan dan iqamah.

Allahu a’lam

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=76524, http://konsultasisyariah.com/muadzin-merangkap-menjadi-imam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits

Publish: artikelassunnah.blogspot.com 


Tuesday, October 4, 2011

Hukum Menebar Bunga Di Kuburan

Pertanyaan:

1. Apa hukumnya bila kita menaburkan bunga di atas kuburan sementera kita tidak ada niat untuk syirik kepada allah melainkan hanya untuk mengharumkan kuburan tersebut dan sekitarnya.

2. Kita masuk kubur dengan memakai sandal bagaimana hukumnya,
Demikian pertanyaan kita terima kasih.

Hasanuddin (fispra_bappXXXXXXX@yahoo.com)

Penjelasan tabur bunga di kubur.

Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.



Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.

Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al quran dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).

Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini  tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ومن تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).

Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).

Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.

Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين

“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (H.r. Muslim: 3012).

Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.

Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa: 44).

Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.

Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).

Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.

Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)

“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn: 26-27).

Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.

Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka  (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.

Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.

Referensi: ikhwanmuslim.com

Sumber: artikelassunnah.blogspot.com

Monday, October 3, 2011

Hukum Menghajikan Kedua Orang Tuanya Sementara Dia Belum Haji Untuk Dirinya

Pertanyaan:
 
Apa hukum menghajikan untuk kedua orang tuanya sementara dia belum haji untuk dirinya?

Jawaban: 

Alhamdulillah

Barangsiapa yang mampu berhaji, terpenuhi semua persyaratan. Maka dia diharuskan menunaikan haji pada tahun itu. Tidak diperbolehkan mengakhirkannya karena untuk kedua orang tuanya atau lainnya. Karena haji diwajibkan secara langsung menurut pendapat terkuat diantara pendapat para ulama’. Maka fardu ain lebih di dahulukan dibandingkan dengan berbakti kepada kedua orang tua berdasarkan firman Allah:



( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين) آل عمران /97 ‘

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.’ SQ. Ali Imron: 97.

Dan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

( عجلوا الخروج إلى مكة ، فإن أحدكم لا يدري ما يعرض له من مرض أو حاجة )

Percepat keluar ke Mekkah. Karena salah satu diantara kamu semua tidak mengetahui apa yang akan menimpa padanya baik berupa sakit atau keperluan.’ HR. Abu Nu’aim di Hilyah. Baihaqi di Syu’ab Al-Iman dan dihasankan oleh Al-Albany di shoheh Al-Jami’ no. 3990.
 

Akan tetapi haji kedua orang tuanya dalam kondisi seperti ini sah. Untuk anaknya agar bersegera melaksanakan haji dikala telah mampu.

Para Ulama’ Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifa’ ditanya, ‘Apakah seseorang diperbolehkan mengirim (uang) kepada kedua orang tuanya untuk melaksanakan haji sebelum dia berangkat melaksanakan haji?

Mereka menjawab,

 ‘Haji adalah kewajiban kepada setiap orang Islam, merdeka, berakal, baligh, mampu di perjalanan dalam melaksanakannya. Sekali seumur hidup. Sementara bakti kepada kedua orang tua termasuk perkara yang dianjurkan sesuai kemampuan. Kecuali dia harus melaksanakan haji untuk dirinya terlebih dahulu. Kemudian membantu kedua orang tuanya. Kalau tidak mudah untuk menggabungkan semuanya untuk haji. Maka kalau sekiranya mendahulukan kedua orang tuanya daripada dirinnya untuk haji, maka hajinya sah. Wabillahi at-taufiq. Selesai ‘Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 11/70.

Wallahu’alam .

 Sumber: www.islam-qa.com

Publish: artikelassunnah.blogspot.com