Friday, October 30, 2009

Kenapa Diharamkan Memakai Emas Bagi Kaum Laki-Laki

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah alasan diharamkannya memakai emas bagi kaum laki-laki, karena kita mengetahui bahwa agama Islam tidak mengharamkan atas seorang muslim kecuali segala sesuatu yang mengandung madharat (bahaya), jadi apakah madharat yang terkandung dalam pemakaian perhiasan emas bagi kaum laki-laki ?

Jawaban
Perlu diketahui oleh penanya dan setiap orang yang mendengar acara ini bahwa alasan hukum dalam menetapkan hukum-hukum syari’at bagi setiap orang mukmin adalah firman Allah dan sabda RasulNya. Hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” [Al-Ahzab : 36]

Siapa saja yang bertanya kepada kami tentang pewajiban atau pengharaman sesuatu, niscaya kami akan menunjukkan hukumnya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, berkenaan dengan pertanyaan tersebut di atas, maka dapat kami katakan, “Alasan diharamkannya emas bagi kaum laki-laki yang mukmin adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan alasan tersebut sudah dianggap cukup bagi setiap orang mukmin.

Karena itu, ketika Aisyah Radhiyallahu ‘anha ditanya : ‘Kenapa wanita yang haid diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat? Ia menjawab, Allah telah menentukan kita mengalami hal tersebut, kemudian kita diperintahkan mengqadha puasa dan kita tidak diperintahkan mengqadha shalat[1]. Karena nash hukum dari Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah RasulNya menjadi alasan diwajibkannya hal tersebut bagi setiap mukmin. Tetapi tidak masalah bagi seseorang untuk mencari hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum Allah, karena hal itu dapat menambah ketentraman bathin, menjelaskan ketinggian syari’at Islam karena ketentuan-ketentuan hukumnya sesuai dengan alasannya dan memungkinkan dilakukan qiyas (analogi), jika alasan hukum yang dinashkan itu memiliki kepastian terhadap masalah lain yang belum memiliki ketetapan hukum. Jadi tujuan mengetahui hikmah yang terkandung dalam ketentuan hukum syari’at adalah tiga faidah tersebut.

Kemudian dapat kami katakan juga berkenan dengan pertanyaan saudara, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan tentang haramnya memakai emas bagi kaum laki-laki, tidak bagi kaum wanita. Alasannya ; karena emas itu termasuk perhiasan yang memiliki nilai tinggi dalam mempercantik dan menghiasi seseorang, sehingga dikatagorikan sebagai hiasan dan perhiasan, sedangkan seorang laki-laki bukanlah peminat hal tersebut, yakni bukan sosok manusia yang menyempurnakan diri atau disempurnakan dengan sesuatu yang di luar dirinya, melainkan sempurna dengan sesuatu yang terdapat di dalam dirinya, karena ia mempunyai sifat kejantanan atau kelaki-lakian ; sehingga ia tidak membutuhkan perhiasan untuk menarik perhatian lawan jenisnya.

Jadis seorang suami tidak membutuhkan perhiasan untuk menarik perhatian istrinya supaya mencitainya. Berbeda sekali dengan wanita, karena ia memiliki kekurangan ; sehingga ia membutuhkan berbagai perhiasan yang bernilai tinggi, dimana perhiasan itu dibutuhkannya hingga di dalam pergaulan di antara mereka dan di depan suaminya. Karena itu, maka wanita diperbolehkan memakai perhiasan emas, dan tidak bagi laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam mensifati keberadaan wanita.

“Artinya : Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran” [Az-Zukhruf : 18]

Dengan demikian, jelaslah mengenai hikmah syara’ (agama) mengharamkan memakai perhiasan emas bagi kaum laki-laki.

Berkaitan dengan hal itu, maka saya nasehatkan kepada kaum mukminin yang memakai perhiasan emas, bahwa mereka telah berbuat maskiat kepada Allah dan RasulNya dan menjadikan dirinya sebagai bagian dari kaum wanita serta mereka telah meletakkan bara api neraka diatas tangannya, kemudian memakainya sebagai perhiasan; sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sedangkan jika mereka memakai perhiasan dari perak dengan memperhatikan batas-batas ketentuan syari’at, maka hal itu tidak menjadi masalah dan tidak berdosa. Demikian juga tidak berdosa dan tidak menjadi masalah memakai perhiasan dengan sejumlah barang tambang yang lainnya selain emas dimana mereka tidak berdosa memakai cincin dari barang-barang tambang tersebut, jika dilakukan tanpa melebihi batas-batas kewajaran dan tidak menimbulkan fitnah.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya serta para sahabatnya seluruhnya.

[Syaikh Ibn Utsaimin, As’ilah Fi Bai’ Wa Syira’ Adz-Dzahab, hal. 38]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al- Bukhari, bab Haidh, 221 dan Muslim, bab Haidh, 335

Thursday, October 29, 2009

Apakah Matahari Mengelilingi Bumi ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Apakah Matahari berputar mengelilingi bumi?".

Jawaban.
"Dhahirnya dalil-dalil syar'i menetapkan bahwa mataharilah yang berputar mengelilingi bumi dan dengan perputarannya itulah menyebabkan terjadinya pergantian siang dan malam di permukaan bumi, tidak ada hak bagi kita untuk melewati dhahirnya dalil-dalil ini kecuali dengan dalil yang lebih kuat dari hal itu yang memberi peluang bagi kita untuk menakwilkan dari dhahirnya. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi sehingga terjadi pergantian siang dan malam adalah sebagai berikut.

[1]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Ibrahim akan hujahnya terhadap yang membantahnya tentang Rabb.

"Artinya : Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," [Al Baqarah : 258]

Maka keadaan keadaan matahari yang didatangkan dari timur merupakan dalil yang dhahir bahwa matahari berputar mengelilingi bumi.

[2]. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman juga tentang Ibrahim.

"Artinya : Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar', maka tatkala matahari itu terbenam dia berkata : 'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.'" [Al-An'am : 78]

Jika Allah menjadikan bumi yang mengelilingi matahari niscaya Allah berkata: "Ketika bumi itu hilang darinya".

[3]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka berada disebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu." [Al-Kahfi : 17]

Allah menjadikan yang condong dan menjauhi adalah matahari, itu adalah dalil bahwa gerakan itu adalah dari matahari, kalau gerakan itu dari bumi niscaya Dia berkata: "gua mereka condong darinya(matahari)". Begitu pula bahwa penyandaran terbit dan terbenam kepada matahari menunjukkan bahwa dialah yang berputar meskipun dilalahnya lebih sedikit dibandingkan dilalah firmanNya "(condong) dan menjauhi mereka)".

[4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang,matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." [Al-Anbiya' : 33]

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata:"Berputar dalam suatu garis peredaran seperti alat pemintal". Penjelasan itu terkenal darinya.

[5]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat," [Al-A'raf : 54]

Allah menjadikan malam mengejar siang, dan yang mengejar itu yang bergerak dan sudah maklum bahwa siang dan malam itu mengikuti matahari.

[6]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman

"Artinya : Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang banar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." [Az Zumar : 5]

FirmanNya: "Menutupkan malam atau siang" artinya memutarkannya atasnya seperti tutup sorban menunjukkan bahwa berputar adalah dari malam dan siang atas bumi. Kalau saja bumi yang berputar atas keduanya (malam dan siang) niscaya Dia berkata: "Dia menutupkan bumi atas malam dan siang". Dan firmanNya: "matahari dan bulan, semuanya berjalan", menerangkan apa yang terdahulu menunjukkan bahwa matahari dan bulan keduanya berjalan dengan jalan yang sebenarnya (hissiyan makaniyan), karena menundukkan yang bergerak dengan gerakannya lebih jelas maknanya daripada menundukkan yang tetap diam tidak bergerak.

[7]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengirinya," [Asy-Syam : 1-2]

Makna (mengiringinya) adalah datang setelahnya. dan itu dalil yang menunjukkan atas berjalan dan berputarnya matahari dan bulan atas bumi. Seandainya bumi yang berputar mengeliligi keduanya tidak akan bulan itu mengiringi matahari, akan tetapi kadang-kadang bumi mengelilingi matahari dan kadang-kadang matahari mengeliling bulan, karena matahari lebih tinggi dari pada bulan. Dan untuk menyimpulan ayat ini membutuhkan pengamatan.

[8]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman

"Artinya : Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dan malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai tandan yang tua. Tidaklah mugkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya." [Yaa-Siin : 37-40]

Penyandaran kata berjalan kepada matahari dan Dia jadikan hal itu sebagai kadar/batas dari Dzat yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui menunjukkan bahwa itu adalah haqiqi (sebenarnya) dengan kadar yang sempurna, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan siang malam dan batas-batas (waktu). Dan penetapan batas-batas edar bulan menunjukkan perpindahannya di garis edar tersebut. Kalau seandainya bumi yang berputar mengelilingi maka penetapan garis edar itu bukannya untuk bulan. Peniadaan bertemunya matahari dengan bulan dan malam mendahului siang menunjukkan pengertian gerakan muncul dari matahari, bulan malam dan siang.

[9]. Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam berkata kepada Abu Dzar radhiallahu anhu dan matahari telah terbenam.

"Artinya : Apakah kamu tahu kemana matahari itu pergi ?" Dia menjawab: "Allah dan RasulNya lebih tahu". Beliau bersabda: "Sesungguhnya dia pergi lalu bersujud di bawah arsy, kemudian minta izin lalu diijinkan baginya, hampir-hampir dia minta izin lalu tidak diijinkan. Kemudian dikatakan kepadanya: "Kembalilah dari arah kamu datang lalu dia terbit dari barat (tempat terbenamnya) atau sebagaimana dia bersabda [Muttafaq 'alaih] [1]

PerkataanNya: "Kembalilah dari arah kamu datang, lalu dia terbit dari tempat terbenamnya" sangatlah jelas sekali bahwa dia (matahari) itulah yang berputar mengelilingi bumi dengan perputarannya itu terjadinya terbit dan terbenam.

[10]. Hadits-hadits yang banyak tentang penyandaran terbit dan terbenam kepada matahari, maka itu jelas tentang terjadinya hal itu dari matahari tidak kepada bumi."

Boleh jadi disana masih banyak dalil-dalil lain yang tidak saya hadirkan sekarang, namun apa yang telah saya sebutkan sudah cukup tentang apa yang saya maksudkan. Wallahu Muwaffiq."


[Disalin dari Majmu Fatawa Arkanul Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1] Dikeluarkan oleh bukhari, Kitab Bad'ul Khalqi, bab shifat asy syam wal qamar : 3199, dan muslim, kitab Al Iman, bab Bayan az Zaman al Ladzi la yuqbal fihil Iman : 159

Download Kumpulan Buku Hartono Jaiz



Mungkin dari teman-teman sudah ada yang tehu siapa itu Hartono Jaiz
yaitu seorang ahlus sunnah
yang karangannya sangat banyak dan bagus-bagus
kalau anda ingin membaca tanpa membeli

Anda tinggal mengklik di bawah ini

Download Buku Ini

Hukum Permainan Catur Menurut Pandangan Islam

HUKUM PERMAINAN CATUR

Dikoreksi
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Syaikh Shalih Fauzan Abdullah Al-Fauzan berkata dalam kitab beliau "Al-I'lam Bi Naqdi Kitab Al-Halal wa Al-Haram" pada pasal koreksi 9 : Permainan Catur

Penulis (Yusuf Al-Qardhawi) pada halaman 217 menjelaskan tentang perselisihan ulama mengenai hukum permainan catur. Lalu penulis memilih pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh). Penulis juga mengomentari : “Menurut pengatahuan kami bahwa catur itu menurut asalnya adalah mubah, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan keharaman catur melebihi dari perbuatan lahwun dan hiburan yang ada. Catur merupakan olah raga pikiran dan melatih berfikir”. Kemudian penulis menjelaskan syarat-syarat kebolehan main catur antara lain.

[1]. Tidak mengundur-ngundur waktu shalat
[2]. Tidak disertai dengan judi
[3]. Hendaknya pemain dapat menjaga lisannya dari omongan kotor

Jawaban
Kami jawab, bahwa persyaratan itu jarang ditaati oleh pamain catur. Misalnya kita terima mereka dapat memenuhi persyaratan tersebut. Maka dengan dibolehkan permainan catur itu, akan menuju hal yang haram dan akhirnya akan dia ingkari persyaratan tersebut, karena itu kita harus berpegang kepada qaul (pendapat) yang mengatakan bahwa catur hukumnya haram. Banyak sekali para ulama mengharamkan permainan catur. Antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berbicara panjang di dalam masalah ini, mulai halaman 216 sampai halaman 245 jilid XXXII dari kitab Majmu Fatawa. Perlu kami petikkan sebagian, diantaranya :

“Misalnya kita tetapkan bahwa permainan catur itu bebas dari itu semua –maksudnya tidak melalaikan kewajiban dan tidak akan melakukan hal yang haram- maka larangan perbuatan itu ditetapkan oleh sahabat. Sebagaimana yang shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah menjumpai kaum yang sedang bermain catur. Lalu beliau mengatakan “Mengapa kamu beri’tikaf berdiam merenungi patung-patung ini”. Sahabat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu menyamakan mereka itu seperti orang yang beriti’kaf kepada patung, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.

“Artinya : Peminum khamer itu seperti penyembah patung”

Padahal khamer dan judi itu selalu bergandengan disebut di dalam Al-Qur’an. Demikian juga larangan itu dinyatakan oleh Ibnu Umar dan yang lain, Imam Hanafi serta shabatnya mengharamkan permainan catur. Adapun Imam Syafi’i beliau pernah berkata : “Permainan yang paling aku benci yaitu obrolan, permainan catur dan permainan burung dara sekalipun tanpa perjudian. Sekalipun kebencian kami kepada permainan itu lebih ringan dari pada permainan dadu …” Sampai kepada perkataan Syaikhul Islam, “Demikianlah kami nukil dari Imam Asy-Syafi’i. Dan ada lagi lafadz semakna tadi bahwa beliau membenci atau menganggap makruh hukum permainan catur dan nilainya dibawah daripada permainan dadu adalah hukumnya haram muthlaq sekalipun tidak disertai taruhan uang. Karena itu Imam Asy-Syafi’i menegaskan, kabar yang paling aku benci …”

Maka jelaslah sandaran beliau adalah kepada kabar (khabar), beliau sendiri menolak qiyas. Inilah yang menjadi alasan jumhur, kalau beliau mengharamkan dadu sekalipun tanpa taruhan apa-apa. Maka catur –sekalipun tidak seperti dadu- tapi bukan berarti tidak termasuk dadu. Hal ini dapat diketahui dari makna sebenarnya permainan itu. Sebab permainan –termasuk dadu- tetap menghalang-halangi untuk mengingat kepada Allah dan shalat, serta pemusuhan dan kemarahan yang diakibatkan catur banyak sekali. Disamping itu permainan ini selalu membuat jiwa untuk meraih piala, lagi membendung akal dan hati untuk ingat kepada Allah dan shalat. Bahkan minum khamer dan ganja, awalnya sedikit tetapi akan menimbulkan ketagihan. Maka keharaman dadu yang tidak disertai taruhan dan dibolehkannya permainan catur seperti keharaman setetes khamer dari anggur tapi dihalalkan satu ciduk arak yang terbuat dari gandum. Perkataan itu juga sangat bertentangan bila ditinjau dari segi ungkapan, qiyas dan keadilan. Demikian juga masalah catur..”. Sampai perkataan Syaikh Ibnu Taimiyah : “Dadu, catur dan semisalnya pada umumnya mengandung kerusakan yang tidak terhitung banyaknya, tidak ada maslahahnya. Lebih-lebih maslahah untuk melawan kelalaian jiwa dan keresahan, sebagaimana yang menimpa kepada peminum khamer. Sebenarnya untuk mencari ketenangan jiwa dengan perkara mubah yang tidak membendung perkara yang baik dan tidak mendatangkan kerusakan banyak sekali.

Orang mukmin sudah dicukupi oleh Allah yaitu dengan memilih yang halal dari yang haram dan dimuliakan oleh Allah dari pada yang lain. FirmanNya

“Artinya : Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan Allah akan memberi rizki yang tak terhitung banyaknya” [Ath-Tholaq : 2]

Di dalam sunnan Ibnu Majah dan lainnya, dari Abu Dzar, sesungguhnya ayat ini tatkala turun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.

“Artinya : Hai Abu Dzar jikalau semua manusia itu mau mengamalkan ayat ini, niscaya mereka memperolah kelapangan”

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan ayat ini, bahwa orang yang bertaqwa terhindar dari bahaya, yaitu Allah menjadikan baginya jalan keluar apa yang menjadi kesulitannya. Dia akan mendapat rahmat dan mendapatkan rizki yang tak terhitung banyaknya. Selanjutnya setiap sesuatu yang dapat menenangkan jiwa yang hidup ini dan dapat melapangkannya maka termasuk rizki. Allah memberi rizki yang demikian itu bagi mereka yang mau bertaqwa dengan mengamalkan perintahnya dan meninggalkan larangannya. Lalu barangsiapa yang masih mencari ketenangan jiwa dengan minum khamer. Pecandu khamer mulanya ingin mencari ketenangan, tetapi tidaklah menambah ketenangan melainkan keletihan dan keresahan. Memang khamer itu dapat menggembirakan pecandunya tetapi sangat sedikit. Sedangkan bahaya yang mengancam dirinya lebih besar. Demikianlah hasil bagi mereka yang telah mencobanya.

Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menjelaskan didalam pembahasan yang lain, yaitu ketika beliau menyebutkan hukum permainan dadu dan catur tanpa taruhan dan tidak melalaikan kewajiban serta tidak mengerjakan larangan Allah. Jika memang benar-benar demikian, maka Manhaj Salaf, Jumhur Ulama seperti Imam Malik dan para sahabatnya, Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ahmad bin Hambal dan sahabatnya dan kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i tidak memastikannya halal tetapi beliau memakruhkannya. Adalagi yang mengatakan, bahwa Imam Syafi’i berkata, “Saya belum tahu jelas keharamnnya”. Sedangkan Imam Baihaqi orang paling tahu diantara sahabat Syafi’i, menjelaskan Ijma sahabat akan keharaman permainan tadi, berdasarkan riwayat dari Ali bin Abu Thalib, Abu Said, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Musa dan Aisyah Radhiyallahu ‘anhum. Dan tidak diriwayatkan dari seorang sahabatpun tentang masalah tersebut pertentangan. Dan barang siapa menukil dari salah seorang diantara sahabat bahwa dia meringankan masalah itu, maka tidak benar. Karena Imam Baihaqi dan lainnya dari kalangan Ahli Hadits labih tahu tentang ucapan sahabat daripada manusia-manusia yang menukil fatwa tanpa sanad

Wahai pembaca, coba perhatikan fatwa Ibnu Taimiyah tentang hukum catur, beliau menjelaskan, “Permainan itu tidak ada manfaatnya, apabila untuk mencapai ketenangan jiwa sebagaimana yang diharapkan oleh peminum khamer. Padahal perkara lain yang mubah untuk menenangkan jiwa tanpa menghambat ibadah dan mendatangkan kerusakan tidak sedikit”. Lalu bandingkanlah wahai pembaca dengan fatwanya penulis (Syaikh Yusuf Qardhawy), beliau mengatakan : “Bahwa permainan catur itu bukan termasuk lahwun tetapi hiburan untuk melatih berfikir dan kecerdasan otak”. Coba anda bisa menimbang dua perkataan diatas, mana yang lebih benar.

Selanjutnya perhatikan lagi fatwa Ibnu Taimiyah : “Imam Baihaqi paling tahu tentang hadits diantara pengikut Syafi’i. Beliau menjelaskan bahwa sahabat telah sepakat mengharamkan permainan catur itu. Tidak ada seorangpun yang menentang pendapatnya dalam hal ini. Siapa yang mengatakan bahwa ada salah seorang shahabat membolehkan permainan ini maka itu adalah salah”. Lalu bandingkan dengan fatwa penulis yang mengatakan “Adapun para shahabat, mereka berbeda pendapat dalam hukum catur ini”. Kemudian penulis menjelaskan bahwa Ibnu Abbas dan Abu Hurairah membolehkannya. Wahai pembaca, siapa yang lebih layak mengetahui qaul shahabat, Syaikh Ibnu Taimiyah dan Imam Baihaqi ataukah penulis ??! Wallahu Al-Muata’an.

Imam Qurthuby didalam tafsirnya VII/339 menjelaskan : Ibnul Araby berkata : Mereka itu beralasan dengan perkataan shahabat dan tabi’in, bahwa mereka itu bermain catur. Padahal sama sekali tidak. Demi Allah tidak akan bermain catur orang yang betaqwa kepada Allah. Memang mereka juga mengatakan bahwa permainan catur itu dapat mengasah otak, padahal menurut kenyataan tidak demikian. Sama sekali tidak menambah kecerdasan seseorang. Ingat wahai pembaca, bahwa Ibnul Araby menolak adanya para shahabat dan tabi’in bermain catur, bahkan diapun berani bersumpah. Imam Qurthuby-pun mengambil fatwanya sebagai pegangan[1]. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu Fatawa XXXII/241 menjelaskan : Imam Baihaqi meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Ja’far bin Muhammad dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mengatakan : “Catur itu perjudian orang asing”. Beliaupun meriwayatkan lagi dengan sanadnya dari Ali, bahwa ia pernah melewati kaum yang sedang bermain catur, lalu beliau menegurnya : “Mengapa kamu menekuni patung ini? Sungguh jika salah satu diantara kamu menggemgam bara api sampai padam itu lebih baik daripada memegang catur”. Dan dari Ali Radhiyallahu ‘anhu pula, bahwa ia pernah melewati salah satu majlis, mereka bermain-main catur lalu dia berkata :”Demi Allah bukanlah kalian diciptakan untuk ini, ingatlah demi Allah, jikalau catur ini bukan menjadi tradisi, tentu aku akan lempar wajahmu dengan catur itu”. Dari Malik ia berkata :”Telah sampai kepada kami suatu berita bahwa Ibnu Abbas mengurusi harta anak yatim itu, lalu membakarnya. [2]

Dari Ibnu Umar, dia pernah ditanya tentang catur, lalu ia menjawab : “Catur itu lebih jahat daripada dadu”. Dari Abu Musa Al-Asy’ary berkata : “Tidak akan bermain catur kecuali orang yang keliru”. Adalagi riwayat dari Aisyah bahwa dia membenci perkara yang melelahkan sekalipun tidak memakai taruhan. Abu Sa’id Al-Khudriy juga membenci permainan itu. Inilah qaul dari para shahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang berselisih pendapat tentangnnya. Selanjutnya Imam Baihaqy meriwayatkan tentang kebencian bermain catur dari Yazid bin Abu Habib dan Muhammad bin Sirin. Ibrahim dan Malik bin Anas, kami mengatakan : “Istilah karohah (dibenci) banyak dipakai ulama Salaf, dan umumnya mempunyai arti haram. Merekapun sudah menjelaskan bahwa catur itu hukumnya haram. Bahkan mereka menambahkan bahwa catur itu lebih jelek daripada dadu, sedangkan dadu itu hukumnya haram sekalipun tidak memakai taruhan

[Disalin dari dari buku Al-I'lam Bi Naqdi Kitab Al-Halal wa Al-Haram, edisi Indoensia Kritik terhadap buku: Halal dan Haram dalam Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerbit Pustaka Istiqamah Solo]
_________
Foote Note
[1]. Berkata Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Fruusiyah, “Telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa keduanya melarang permainan catu. Dan tidak seorangpun dari shahabat yang mengatakan berbeda tentang hal itu. Allah melindungi mereka dari perbuatan tersebut. Dan barangsiapa yang menyatakan bahwa salah seorang diantara mereka bermain dengannya, seperti Abi Hurairah, maka hal itu merupakan perkataan mengada-ada dan dusta atas mereka. Dimana orang-orang yang mengerti keadaan shahabat dan atsar maka akan mengingkarinya. Bagaimana mungkin sebaik-baik qurun dan makhluk setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan sesuatu yang dapat menghalang-halangi dari mengingat kepada Allah dan Shalat ?!?
[2]. Yakni permainan catur yang terdapat pada harta anak yatim itu. Demikianlah keadaan Ibnu Abbas yang dikatakan oleh Qardhawi menyatakan bolehnya bermain catur, membuangnya dari harta anak yatim tersebut.

Wednesday, October 28, 2009

Download buku Sejarah Teks Al-Qur'an





Karya Prof dr. M.M Al-A'Zami
Yang berjudul "Sejarah Teks Al-Qura'an"

Anda semua bisa download disini
Buku yang sangat bagus untuk di baca karna akan memberikan ilmu tentang sejarah Al-Qur'an
yaitu Kitabullah.

Download Buku Ini

Semoga Bermanfaat bagi kita semua

Tuesday, October 27, 2009

Download Murotal Al-Qur'an Ahmad Saud

Download Gratis Murotal Al-Qur'an

Download Murotal Qur'an dengan Qorie
Ahmad Saud yang suaranya sangant bagus
padahla umurnya masih kecil
dan dia adalah qorie yang berasal dari Makkah Al-Mukaromah

Download gratis morotal qur'an disini























Maaf kalau penempatannya tidak teratur.

Abu Hanifah

Abu Hanifah (wafat 150 H)



Nama sebenarnya adalah An-Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Ia bekas hamba sahaya Taimullah bin Tsa’labah al-Kufi. Ia berasal dari Persia.



Abu Hanifah seorang Tabi’in karena pernah melihat beberapa sahabat seperti Anas bin Malik, Sahl bin Sa’ad as-Sai’di, Abdullah bin Abi Aufa dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Ia meriwayatkan dari sebagian mereka. Bahkan ada Ulama yang mengatakan bahwa ia meriwayatkan dari mereka.



Abu Hanifah belajar fiqh dan hadist dari ‘Atha’, Nafi’ ibn Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar, dan lainnya. Yang meriwayatkan darinya adalah para muridnya seperti Abu Yusuf, Zuhfar, Abu Muthi’ al-Balkhi, Ibnul Mubarak, al-Hasan bin Ziyad, Dawud at-Tha’I dan Waki’.



Para Ulama memberi kesaksian akan keluasan ilmu fiqh dan kekuatan Hujjah. Imam Syafi’I berkata:”Dalam hal ilmu Fiqh, ada pada Abu Hanifah”.



Al-Laits bin Sa’ad berkata:” Aku pernah menghadap Imam Malik di Madinah, lalu aku bertanya kepadanya:’ aku lihat anda mengusap keringat dikening anda.’. Malik menjawab:” Aku berkeringat bersama Abu Hanifah, Dia benar benar ahli fiqh”.



Ibnul Mubarak berkata:’ Orang yang paling mengerti fiqh, aku belum pernah melihat orang seperti dia, andakata Allah tidak menolongku melalui Abu Hanifah niscaya aku seperti kebanyakan orang. Dia adalah seorang dermawan dan ahli menyelami berbagai masalah”.



Muhammad bin Mahmud mengumpulkan 15 hadits Musnadnya. Dalam kitabnya al-Atsar karya muridnya yang bernama Muhammad bin al-Hasan banyak didapati hadits yang dikutib oleh Muhammad bersumber darinya.



Abu Hanifah seorang yang sangat takwa, untuk membiayai hidupnya ia bekerja sendiri dan tidak mau menerima pemberian para ulama. Abu Ja’far pernah memaksanya untuk menjadi Qadli tetapi Abu Hanifah menolaknya dan Ia meninggal di penjara Baghdad pada tahu 150H.



Disalin dari Biografi Abu Hanifah dalam Tarikh Baghdad: al-Khatib Baghdadi13/323

Hukum Mengangkat Suara Ketika Zikir Setelah Shalat

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum mengeraskan
suara dalam dzikir setelah shalat?"

Jawaban.
Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu 'Abbas, ia berkata:

"Artinya : Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras".

Akan tetapi sebagian ulama mencermati dengan teliti perkataan Ibnu 'Abbas tersebut, mereka menyimpulkan bahwa lafal "Kunnaa" (Kami dahulu), mengandung isyarat halus bahwa perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus.

Berkata Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm bahwasanya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.

Ini mengingatkanku akan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang bolehnya imam mengeraskan suara pada bacaan shalat padahal mestinya dibaca perlahan dengan tujuan untuk mengajari orang-orang yang belum bisa.

Ada sebuah hadits di dalam Shahihain dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu terkadang memperdengarkan kepada para
shabahat bacaan ayat Al-Qur'an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar, dan Umar juga melakukan sunnah ini.

Imam ASy-Syafi'i menyimpulkan berdasarkan sanad yang shahih bahwa Umar
pernah men-jahar-kan do'a iftitah untuk mengajari makmum ; yang menyebabkan
Imam ASy-Syafi'i, Ibnu Taimiyah dan lain-lain berkesimpulan bahwa hadits di atas mengandung maksud pengajaran. Dan syari'at telah menentukan bahwa sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi.

Walaupun hadits : "Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (perlahan)".
Sanad-nya Dhaif akan tetapi maknanya 'shahih'.

Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras, sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy'ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para shahabat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Musa berkata : Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo'a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian sendiri".

Kejadian ini berlangsung di padang pasir yang tidak mungkin mengganggu siapapun. Lalu bagaimana pendapatmu, jika mengeraskan suara dzikir itu berlangsung dalam masjid yang tentu mengganggu orang yang sedang membaca Al-Qur'an, orang yang 'masbuq' dan lain-lain. Jadi dengan alasan mengganggu orang lain inilah kita dilarang mengeraskan suara dzikir.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.

Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat.

"Artinya : Sehingga mengganggu kaum mu'minin (yang sedang bermunajat)".

[Fatwa-Fatwa AlBani, hal 39-41, Pustaka At-Tauhid]

Monday, October 26, 2009

Asal Usul Manusia

ASAL USUL MANUSIA [TEORI EVOLUSI]

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Ada yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi. Apakah ini benar.?

Jawaban.
Perkataan ini tidak benar. Dalilnya adalah sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur’an ketika Allah menjelaskan tentang perkembangan penciptaan Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah seperti Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian berkata â€کJadilah!’, maka iapun jadilahâ€‌ [Ali-Imran : 59]

Kemudian tanah tersebut –dalam ayat- dibasahi sehingga menjadi tanah liat yang lengket, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanahâ€‌ [Al-Mu’minun : 12]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liatâ€‌ [Ash-Shaffat : 11]

Kemudian, tanah tersebut berubah menjadi Lumpur hitam yang diberi bentuk. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (=Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari Lumpur hitam yang diberi bentukâ€‌ [Al-Hijr : 26]

Kemudian setelah kering tanah tersebut berubah seperti tembikar. Ini dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikarâ€‌ [Ar-Rahman : 14]

Kemudian, Allah pun membentuk tanah tersebut menjadi bentuk yang Dia ingini ; lalu ditiupkan ruh kedalamnya dari ruh (ciptaan)-Nya. Tentang hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, â€کSesunggguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari Lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, bila telah Aku sempurnakan bentuknya dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, tunduklah kamu kepadanya dengan cara bersujudâ€‌ [Al-Hijr : 28-29]

Itulah fase perkembangan penciptaan Adam dari sudut pandang Al-Qur’an. Adapun perkembangan yang dialami keturunan Adam disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya.

“Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah ; lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging ; lalu segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang ; lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging ; kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baikâ€‌ [Al-Mu’minun : 12-14]

Adapun tentang istri Adam (Hawa), Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan bahwa ia diciptakan dari Adam, sebagaimana tersebut dalam firmanNya.

“Artinya : Hai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari diri itulah Dia menciptakan istrinyaâ€‌ [An-Nisa : 1]


[Fatawa Lil Lajnah Ad-Da’imah 1/68-70, Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 1/I/Ramadhan 4123H Hal. 8 -9]

Sunday, October 25, 2009

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab



Nasab (silsilah beliau)



Beliau adalah As Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman Bin ‘Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid At Tamimi. Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H -bertepatan dengan 1703 M- di negeri ‘Uyainah daerah yang terletak di utara kota Riyadh, dimana keluarganya tinggal.



Beliau tumbuh di rumah ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau Abdul Wahhab yang menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan Abdullah Bin Muhammad Bin Hamd Bin Ma’mar. Kakek beliau, yakni Asy Syaikh Sulaiman adalah tokoh mufti yang menjadi referensi para ulama. Sementara seluruh paman-paman beliau sendiri juga ulama.



Beliau dididik ayah dan paman-pamannya semenjak kecil. Beliau telah menghafalkan Al Qur’an sebelum mencapai usia 10 tahun di hadapan ayahnya. Beliau juga memperdengarkan bacaan kitab-kitab tafsir dan hadits, sehingga beliau unggul di bidang keilmuan dalam usia yang masih sangat dini. Disamping itu, beliau sangat fasih lisannya dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama disekitarnya amat kagum dengan kecerdasan dan keunggulannya. Mereka biasa berdiskusi dengan beliau dalam permasalahan-permasalah ilmiyah, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari diskusi tersebut. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri beliau. Namun beliau tidaklah merasa cikup dengan kadar ilmu yang sedemikian ini, sekalipun pada diri beliau telah terkumpul sekian kebaikan. Beliau justru tidak pernah merasa puas terhadap ilmu.



Rihlah Beliau dalam Menuntut Ilmu



Beliau tinggalkan keluarga dan negerinya untuk berhaji. Seusai haji, beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah dan menimba ilmu dari para ulama’ di negeri itu. Di antara guru beliau di Madinah adalah:



* As Syaikh Abdullah Bin Ibrahim Bin Saif dari Alu (keluarga) Saif An Najdi. Beliau adalah imam bidang fiqih dan ushul fiqih.

* As Syaikh Ibrahim Bin Abdillah putra Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim Bin Saif, penulis kitab Al Adzbul Faidh Syarh Alfiyyah Al Faraidh.

* Asy Syaikh Muhaddits Muhammad Bin Hayah Al Sindi dan beliau mendapatkan ijazah dalam periwayatannya dari kitab-kitab hadits.



Kemudian beliau kembali ke negerinya. Tidak cukup ini saja, beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke negeri Al Ahsa’ di sebelah timur Najd. Disana banyak ulama mahdzab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar pada mereka khususnya kepada para ulama mahdzab Hambali. Di antaranya adalah Muhammad bin Fairuz , beliau belajar fiqih kepada mereka dan juga belajar kepada Abdullah Bin Abdul Lathif Al Ahsa’i.



Tidak cukup sampai disitu, Bahkan beliau menuju ke Iraq, khususnya Bashrah yang pada waktu itu dihuni oleh para ulama ahlul hadits dan ahlul fiqih. Beliau menimba ilmu dari mereka, khususnya Asy Syaikh Muhammad Al Majmu’i, dan selainnya. Setiap kali pindah maka beliau mendapatkan buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim muridnya, beliau segera menyalinnya dengan pena. Beliau menyalin banyak buku di Al Ahsa’ dan Bashrah, sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam jumlah yang besar.



Selanjutnya beliau bertekad menuju negeri Syam, karena di sana ketika itu terdapat ahlul ilmi dan ahlul hadits khususnya dari mahdzab Hambali. Namun setelah menempuh perjalanan ke sana, terasa oleh beliau perjalanan yang sangat berat. Beliau ditimpa lapar dan kehausan, bahkan hampir beliau meninggal dunia di perjalanan. Maka beliaupun kembali ke Bashrah dan tidak melanjutkan rihlahnya ke negeri Syam.



Selanjutnya beliau bertolak ke Najd setelah berbekal ilmu dan memperoleh sejumlah besar kitab, selain kitab-kitab yang ada pada keluarga dan penduduk negeri beliau. Setelah itu beliau pun berdakwah mengadakan perbaikan dan menyebarkan ilmu yag bermanfaat serta tidak ridha dengan berdiam diri membiarkan manusia dalam kesesatan.



Dakwah Beliau



Kondisi keilmuan dan keagamaan manusia waktu itu benar-benar dalam keterpurukan yang nyata, hanyut dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Sehingga khurafat, peribadatan kepada kuburan mayat dan pepohonan merajalela. Sedangkan para ulamanya sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap aqidah salaf dan hanya mementingkan masalah-masalah fiqih. Bahkan diantara mereka justru memberikan dukungan kepada pelaku kesesatan-kesesatan tersebut.



Adapun dari segi politik, mereka tepecah belah, tidak memiliki pemerintahan yang menyatukan mereka. Bahkan setiap kampung mempunyai amir (penguasa) sendiri. ‘Uyainah mempunyai penguasa sendiri, begitu pula Dir’iyyah, Riyadh, dan daerah-daerah lainnya. Sehingga pertempuran, perampokan, pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan pun terjadi diantara mereka.



Melihat kondisi yang demikian mengenaskan bangkitlah ghirah (kecemburuan) beliau terhadap agama Allah Subahnahu Wata’ala juga rasa kasih sayang beliau terhadap kaum muslimin. Mulailah beliau berdakwah menyeru manusia ke jalan ALlah Subhanahu Wata’ala, mengajarkan tauhid, membasmi syirik, khurafat dan bid’ah-bid’ah serta menanamkan manhaj Salafush Shalih. Sehingga berkerumunlah murid-murid beliau baik dari Dir’iyyah maupun ‘Uyainah.



Selanjutnya beliau mendakwahi amir ‘Uyainah. Pada awalnya sang amir menyambit baik dakwah tauhid ini dan membelanya. Sampai-sampai ia menghancurkan kubah Zaid Bin Al-Khattab yang menjadi tempat kesyirikan atas permintaan Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab. Namun karena adanya tekanan dari amir Al Ahsa’ akhirnya amir ‘Uyainah pun menghendaki agar Asy Syaikh keluar dari ‘Uyainah. Maka berangkatlah beliau menuju ke Dir’iyyah tanpa membawa sesuatupun kecuali sebuah kipas tangan guna melindungi wajahnya. Beliau terus berjalan di tengah hari seraya membaca (Qur’an surat Ath Thalaq:2-3 yang artinya -red):



“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah pasti Allah memberinya jalan keluar dan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka”(Ath Thalaq:2-3)



Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut sampai tiba di tempat murid terbaiknya yang bernama Ibnu Suwailim yang ketika itu merasa takut dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan juga syaikhnya karena penduduk negeri itu telah saling memperingatkan untuk berhati-hati dengan syaikh. Maka beliau (Syaikh -red) pun menenangkannya dengan mengatakan, “Jangan berpikir yang bukan-bukan, selamanya. Bertawakallah kepada Allah Subahahu Wata’ala. Niscaya Dia akan menolong orang-orang yang membela agamanya.”



Berita kedatangan Asy Syaikh diketahui seorang shalihah, istri amir Dir’iyyah, Muhammad Bin Su’ud. Dia lalu menawarkan kepada suaminya agar membela syaikh ini karena beliau adalah nikmat dari Allah Subahahu Wata’ala yang dikaruniakan kepadanya, maka hendaklah dia bersegera menyambutnya. Sang istri berusaha menenangkan dan membangkitkan rasa cinta pada diri suaminya terhadap dakwah dan terhadap seorang ulama. Maka sang amir mengatakan, “(Tunggu) beliau datang kepadaku”. Istrinya menimpali “Justru pergilah anda kepadanya, karena jika anda mengirim utusan dan mengatakan ‘datanglah kepadaku’, bisa jadi manusia akan mengatakan bahwa amir meminta beliau untuk datang ditangkap. Namun jika anda sendiri yang mendatanginya, maka itu merupakan suatu kehormatan bagi beliau dan bagi anda.”



Sang amir akhirnya mendatangi Asy Syaikh, mengucapkan salam dan menanyakan perihal kedatangannya. Asy Syaikh Rahimahullah menerangkan bahwa tidak lain beliau hanya mengemban dakwah para Rasul yakni menyeru kepada kalimat tauhid LAA ILAHA ILLALLAH. Beliau menjelaskan maknanya, dan beliau jelaskan pula bahwa itulah aqidah para Rasul. Sang amir mengatakan, “Bergembiralah dengan pembelaan dan dukungan”. Asy Syaikh rahimahullah menimpali, “Berbahagialah dengan kemuliaan dan kekokohan. Karena barang siapa menegakkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH ini, pasti Allah akan memberikan kekokohan kepadanya.” Sang amir menjawab, “Tapi saya punya satu syarat kepada anda.” Beliau bertanya, “Apa itu?” Sang amir menjawab, “Anda membiarkanku dan apa yang aku ambil dari manusia.” Jawab Asy Syaikh rahimahullah, “Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kecukupan kepada anda dari semua ini, dan membukakan pintu-pintu rizki dari sisi-Nya untuk anda.” Kemudian keduanya berpisah atas kesepakatan ini. Mulailah Asy Syaikh berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para Thalabul Ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah. Semenjak itu beliau menjadi imam sholat, mufti dan juga qadhi. Maka terbentuklah pemerintahan tauhid di Dir’iyyah.



Kemudian Asy Syaikh mengirim risalah ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau, sehingga merekapun diperangi oleh tentara tauhid dibawah komando amir Muhammad Bin Su’ud dengan bimbingan dari beliau rahimahullah. Hal itu menjadi sebab meluasnya dakwah tauhid di daerah Najd dan sekitarnya. Bahkan amir ‘Uyainah pun kini masuk di bawah kekuasaan Ibnu Su’ud, begitu pula Riyadh, dan terus meluas ke daerah Kharaj, ke utara dan selatan. Di bagian utara sampai ke perbatasan Syam, di bagian selatan sampai di perbatasan Yaman, dan di bagian timur dari Laut Merah hingga Teluk Arab. Seluruhnya dibawah kekuasaan Dir’iyyah, baik daerah kota maupun gurunnya.



Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan kebaikan, rizki, kecukupan, dan kekayaan kepada penduduk Dir’iyyah. Maka berdirilan pusat perdagangan di sana, dan bersinarah negeri tersebut dengan ilmu dan kekuasaan sebagai berkah dari dakwah salafiyah yang merupakan dakwah para Rasul.



Karya-karya Beliau



Karya beliau sangat banyak, dia ntaranya:



* Kitab Tauhid Al Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al ‘Abid

* Al Ushul Ats Tsalatsah

* Kasfusy Syubhat

* Mukhtasar Sirah Rasul

* Qawaidul ‘Arba’ah dan lainnya



Wafat Beliau



Beliau wafat pada tahun 1206 H. Semoga Allah Subhanahu Wata’la melimpahkan rahmatnya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di Jannah-Nya yang luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Amin Ya Robbal ‘Alamin.



Disarikan dari Syarh Ushul Tsalatsah

Asy Syaikh Muhammad Bin Salih Al Utsaimin, hal 5

dan Syarh Kasyfusy Syubhat

Asy Syaikh Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al Fauzan, hal 3-12



Sumber: Majalah Asy Syariah

Vol II/No 21/1427 H/2006

halaman 71-73

Tentang kami

Selamat datang di blog Artikel Assunnah.blogspot.com
Blog ini khusus untuk orang yang beragam islam
dan blog ini berjalan mengikuti perjalanan salafus shaleh.
Kami minta maaf jika ada sebagian maupun keseluruhan yang dengan sengaja maupun tidak telah mempublikasikan artikel-artikel blogger semua,tanpa izin yang sah.
Kami hanya ingin berbagi ilmu agama sekaligus berbagi kepada orang lain.


Link yang berhubungan dengan Pemilik



Admin

Ibnu Hadi Dhirgham Faturrachman




Kumpulan Radio Sunnah


 Kumpulan dari beberapa radio sunnah



radio online yang menumbuhkan semangat islam






















Cara Pasang Radio Online

Saturday, October 24, 2009

Apakah Imsak Memiliki Dalil Dari As-Sunnah Ataukah Merupakan Bid'ah?

APAKAH IMSAK MEMILIKI DALIL DARI SUNNAH ATAUKAH MERUPAKAN BID’AH ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami melihat beberapa almanak di bulan Ramadhan dituliskan padanya bagian yang disebut “imsak” yang dijadikan sebelum shalat shubuh kurang lebih sepuluh menit, atau seperempat jam, apakah hal ini memiliki dalil dari sunnah ataukah merupakan bid’ah ? Berilah fatwa kepada kami, mudah-mudahan anda mendapat pahala.

Jawaban
Hal ini termasuk bid’ah, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah berfirman di dalam kitabnya yang mulia.

“Artinya : Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang merah dari benang putih yaitu fajar” [Al-Baqarah : 187]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, makan dan minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak beradzan sampai terbit fajar” [1]

Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allah padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan ! “ [2]

SEBELUM NAIK PESAWAT MATAHARI SUDAH TENGGELAM LALU IA BERBUKA, SETELAH PESAWAT LEPAS LANDAS DIA MELIHAT MATAHARI, APAKAH HARUS MENAHAN DIRI DARI MAKAN MINUM ?

Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang menyaksikan tenggelamnya matahari, muadzin pun mengumandangkan adzan sedangkan saat itu dia berada di Bandar Udara lalu dia berbuka puasa, sesudah pesawat yang ditumpanginya lepas landas dia melihat matahari, apakah dia harus menahan diri dari makan dan minum?

Jawaban
Jawaban kami terhadap kasus ini adalah dia tidak wajib menahan diri (berpuasa lagi), karena waktu berbuka datang tatkala mereka masih berada di daratan, matahari sudah tenggelam ketika itu dan mereka berada di tempat tenggelamnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila malam datang menyongsong dari sana dan siang telah meninggalkan dari arah sana, juga matahari telah tenggelam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka” [3]

Apabila dia berbuka berdasar tengelamnya matahri sedangkan saat itu dia berada di Bandar Udara (Airport) maka berakhirlah harinya, jika harinya telah berakhir maka dia tidak lagi wajib menahan diri dari makan dan minum kecuali pada hari berikutnya.
Atas dasar ini, dia tidak wajib menahan diri dalam kondisi ini, karena berbuka puasa sudah sesuai dalil syariat sehingga tidak diwajibkan atasnya berpuasa lagi kecuali dengan dalil syariat pula.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Janganlah mencegah kalian benar-benar …” (1918) dan Muslim : Kitab Shiyam/Bab Keterangan bahwa masuknya waktu puasa ditandai dengan terbit fajar …” (1092)
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Ilmu/Bab Celakanya orang-orang yang mengada-adakan (2670)
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Berpuasa dan berbuka dalam bepergian (1941)

Monday, October 19, 2009

Muhammad bin al-Hanafiyyah

Namanya adalah Muhammad Ibn al-Hanafiah, ia banyak menimba ilmu dari ‘Ali bin Abi thalib.” pada saat Telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.”



Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini? Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.



Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah…apa pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.” “Ya” jawab beliau.





Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)…dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau (wafat).



Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Hanya saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.



Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.



Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan dan keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.



Ayahnya telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.



Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah keteguhannya.



Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”



Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan dua mata ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua tangannya…sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”



Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya.



Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.



Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…



Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…

Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…

Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…



Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”



Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.

Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )



Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.



Muawiyah merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.



Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali…dan lebih dari satu sebab.



Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin mereka saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?”

Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.



Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan kuatnya?.”



Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”



‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.”



“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.



“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.



Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.”



Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.



Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun memakainya…maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.



Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi ini…apabila ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau dia yang mendudukkanku…Dan bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang duduk…”

Orang Romawi tadi memilih duduk.



Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk…



Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan mendudukkannya di tanah.



Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.

Hari-hari berputar lagi…



Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya.



Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.



Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk membaiatnya…dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun terpecah lagi…



Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah membaiatnya.



Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at.



Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”



Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada) Allah…wahai kaum Muslimin…



Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…

Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..

Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.



Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaan…hanyalah aku ini seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu…juga tidak membaiatnya.”



Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya.



Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.



Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus mendesaknya untuk membaiatnya.



Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.



Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api…



Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya akan membakar semuanya.



Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”



Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan anak-anak dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”



Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan mereka condong kepadanya.



Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.



Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang bersamamu…ia memutus tali persaudaraanmu…dan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang memahami hakmu…menghormati keutamaanmu…dan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah…



Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri Syam…sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.



Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.



Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya.



Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.



Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.”



Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”



Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”



Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.

Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…



Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”



Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri mengkhutbahi mereka…ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam…kemudian berkata, “Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”



Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”



Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”



Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang bersamanya…Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn az-Zubair…dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.



Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma ba’du…Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara tertulis. Wassalamu’alaika.”



Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnya…Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para sahabatnya.”



Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.



Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara manusia.



Sumber: – Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nu’aim, III: 174, – Tahdziib at-Tahdziib, IX:354, – Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79, – Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’d, V:91, – Al-Waafi bi al-Wafayaat (terjemah): 1583, – Wafayaat al-A’yaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169, – Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H, – Syadzarat adz-Dzahab, I:89,- Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89, – Al-Bad’u Wa at-Tarikh, V:75-76, – Al-Ma’arif oleh Ibnu Qutaibah: 123, – Al-‘Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-‘Urayyan, Juz II,III,V dan VII


Membacakan Al-Qur'an Untuk Mayat

MEMBACAKAN AL-QUR’AN UNTUK MAYAT

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bolehkan membacakan Al-Qur’an untuk mayat, yaitu dengan menempatkan mushaf di rumah si mayat, lalu para tetangga dan kenalannya berdatangan, kemudian masing-masing membacakan satu juz umpamanya, setelah itu kembali kepekerjaannya masing-masing, namun untuk bacaan itu mereka tidak diberi upah. Selesai bacaan, si pembaca mendo’akan si mayat dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada si mayat. Apakah bacaan do’a itu sampai kepada si mayit dan mendapat pahala ? Saya mohon penjelasan. Terima kasih. Perlu diketahui, bahwa saya pernah mendengar sebagian ulama yang mengharamkan perbuatan ini secara mutlak, namun sebagian lagi ada yang memakruhkan dan sebagian lainnya membolehkan.


Jawaban.
Perbuatan ini dan yang serupa itu tidak ada asalnya, tidak diketahui bahwa itu berasal dari Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam dan tidak diriwayatkan pula dari sahabat beliau Shallallahu â€کalaihi wa sallam bahwa mereka membacakan Al-Qur’an untuk mayat, bahkan Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka itu tertolakâ€‌ [Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyyah (18-1718) dan Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq namun menguatkannya]

Disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Aisyah Radhiyallahu â€کanha, dari Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam, bahwa Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunannya) padanya, maka ia tertolakâ€‌ [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697), Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718)]

Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari jabir Radhiyallahu â€کanhu, dalam salah satu khutbah Jum’at Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam mengatakan.

“Artinya : Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-sebaik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu â€کalaihi wa sallam seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesatâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Jumu’ah 867]

An-Nasa’i menambahkan pada riwayat ini dengan isnad shahih.

“Artinya : Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di nerakaâ€‌ [Hadits Riwayat Nasa’i dalam Al-Idain 1578]

Adapun bersedekah atas nama si mayat dan mendo’akannya, bisa berguna baginya dan sampai kepadanya menurut ijma’ kaum msulimin. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk dan Hanya Allah-lah tempat meminta.

[Kitab Ad-Da’wah, Juz 1, hal.215, Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 474 – 475 Darul Haq]

Sunday, October 18, 2009

Al-Bidayah Wan Nihayah



Ini adalah Buku Sejarah yang paling bagus untuk di baca Karya Syaikh kita yaitu Syaikh Ibnu katsir
. Dengan judul Al-Bidayah Wan Nihayah Pada masa kulafaur Rasyidin

Disini Anda bisa mendownloadnya secara gratis.
dan mudah
anda tinggal mengklik kata yang berwarna merah dibawah sini

Donwload buku ini

Ensiklopedia Fatwa




Apakah anda tahu buku ini.

ini adalah salah satu buah karya Syaikh Al-Albani yaitu ENSIKLOPEDIA FATWA Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
yang sangat masyhur.

Anda semua bisa mendownload dengan gratis disini.

adna tinggal klik yang berwarna merah dbawah ini.

Donwload buku ini


Semoga
Bermanfaat Bagi diri ana dan antum sekalian.

Syaikh ibnu taimiyyah

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syeikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Bin Abdul Halim Bin Abdus Salam Bin Abdullah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An- Numairy Al Harani Adimasqi Al Hambali. Beliau adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi wa sallam yang telah dimatikan oleh banyak orang.

Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab- kitabnya dapat selamat.



PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”

Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha’ dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

PUJIAN ULAMA

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah … dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?” Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia…” Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pem- bagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.

Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.

Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: “…… tiba-tiba (di tengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah Ta’ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.

Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.

KEHIDUPAN PENJARA

Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”

Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata: “Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!! Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat Kematianku adalah mati syahid. Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.

Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”

Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.

Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.

Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.

Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.

WAFATNYA

Beliau wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan, dalam tiah harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.

Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i, mujahidd, pembasmi bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu a’lam.

(Dikutip: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq )