1. Apabila seseorang akan menguap, maka hendaknya menahan semampunya dengan jalan menahan mulutnya serta mempertahankannya agar dan jangan sampai terbuka, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
"Kuapan (menguap) itu datangnya dari syaitan. Jika salah seorang di antara kalian ada yang menguap, maka hendaklah ia menahan semampunya"
(HR. Al-Bukhari no.6226 dan Muslim no.2944)
Apabila tidak mampu menahan, maka tutuplah mulutnya dengan meletakan tangannya pada mulutnya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
"Apabila salah seorang diantara kalian menguap maka hendaklah menutup mulut dengan tangannya karena syeitan akan masuk (ke dalam mulut yang terbuka)". (HR. Muslim no.2995 (57) dan Abu Dawud no.5026)
2. Tidak disyariatkan untuk meminta perlindungan dari syaitan kepada Allah ketika menguap, karena hal tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah, tidak pula dari Sahabatnya
(Taken From. Aadaab Islaamiyyah. Syaikh Abdul Hamid bin Abdirrahman as-Suhaibani.)
Sunday, January 31, 2010
Biografi Imam Abu Dawud
Beliau lahir sebagai seorang ahli urusan hadits, juga dalam masalah fiqh dan ushul serta masyhur akan kewara’annya dan kezuhudannya. Kefaqihan beliau terlihat ketika mengkritik sejumlah hadits yang bertalian dengan hukum, selain itu terlihat dalam penjelasan bab-bab fiqih atas sejumlah karyanya, seperti Sunan Abu Dawud.
Al-Imam al-Muhaddist Abu Dawud lahir pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 275 H di Bashrah.
Sepanjang sejarah telah muncul para pakar hadist yang berusaha menggali makna hadist dalam berbagai sudut pandang dengan metoda pendekatan dan sistem yang berbeda, sehingga dengan upaya yang sangat berharga itu mereka telah membuka jalan bagi generasi selanjutnya guna memahami as-Sunnah dengan baik dan benar.
Di samping itu, mereka pun telah bersusah payah menghimpun hadits-hadits yang dipersilisihkan dan menyelaraskan di antara hadits yang tampak saling menyelisihi. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kewibawaan dari hadits dan sunnah secara umum. Abu Muhammad bin Qutaibah (wafat 267 H) dengan kitab beliau Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits telah membatah habis pandangan kaum Mu’tazilah yang mempertentangkan beberapa hadits dengan al-Quran maupun dengan rasio mereka.
Selanjutnya upaya untuk memilahkan hadits dari khabar-khabar lainnya yang merupakan hadits palsu maupun yang lemah terus dilanjutkan sampai dengan kurun al-Imam Bukhari dan beberapa penyusun sunan dan lainnya. Salah satu kitab yang terkenal adalah yang disusun oleh Imam Abu Dawud yaitu sunan Abu Dawud. Kitab ini memuat 4800 hadits terseleksi dari 50.000 hadits.
Beliau sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, beliau sudah berada di baghdad. Kemudian mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Beliau langsung berguru selama bertahun-tahun. Diantara guru-gurunya adalah Imam Ahmad bin Hambal, al-Qa’nabi, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Sulaiman bin Harb, Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain.
Sebagai ahli hukum, Abu Dawud pernah berkata: Cukuplah manusia dengan empat hadist, yaitu: Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya; termasuk kebagusan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat; tidaklah keadaan seorang mukmin itu menjadi mukmin, hingga ia ridho terhadap saudaranya apa yang ia ridho terhadap dirinya sendiri; yang halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas pula, sedangkan diantara keduanya adalah syubhat.
Beliau menciptakan karya-karya yang bermutu, baik dalam bidang fiqh, ushul,tauhid dan terutama hadits. Kitab sunan beliaulah yang paling banyak menarik perhatian, dan merupakan salah satu diantara kompilasi hadits hukum yang paling menonjol saat ini. Tentang kualitasnya ini Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: Kitab sunannya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats as-sijistani rahimahullah adalah kitab Islam yang topiknya tersebut Allah telah mengkhususkan dia dengan sunannya, di dalam banyak pembahasan yang bisa menjadi hukum diantara ahli Islam, maka kepadanya hendaklah para mushannif mengambil hukum, kepadanya hendaklah para muhaqqiq merasa ridho, karena sesungguhnya ia telah mengumpulkan sejumlah hadits ahkam, dan menyusunnya dengan sebagus-bagus susunan, serta mengaturnya dengan sebaik-baik aturan bersama dengan kerapnya kehati-hatian sikapnya dengan membuang sejumlah hadits dari para perawi majruhin dan dhu’afa. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas mereka dan mem- berikannya pula atas para pelanjutnya.
Al-Imam al-Muhaddist Abu Dawud lahir pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 275 H di Bashrah.
Sepanjang sejarah telah muncul para pakar hadist yang berusaha menggali makna hadist dalam berbagai sudut pandang dengan metoda pendekatan dan sistem yang berbeda, sehingga dengan upaya yang sangat berharga itu mereka telah membuka jalan bagi generasi selanjutnya guna memahami as-Sunnah dengan baik dan benar.
Di samping itu, mereka pun telah bersusah payah menghimpun hadits-hadits yang dipersilisihkan dan menyelaraskan di antara hadits yang tampak saling menyelisihi. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kewibawaan dari hadits dan sunnah secara umum. Abu Muhammad bin Qutaibah (wafat 267 H) dengan kitab beliau Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits telah membatah habis pandangan kaum Mu’tazilah yang mempertentangkan beberapa hadits dengan al-Quran maupun dengan rasio mereka.
Selanjutnya upaya untuk memilahkan hadits dari khabar-khabar lainnya yang merupakan hadits palsu maupun yang lemah terus dilanjutkan sampai dengan kurun al-Imam Bukhari dan beberapa penyusun sunan dan lainnya. Salah satu kitab yang terkenal adalah yang disusun oleh Imam Abu Dawud yaitu sunan Abu Dawud. Kitab ini memuat 4800 hadits terseleksi dari 50.000 hadits.
Beliau sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, beliau sudah berada di baghdad. Kemudian mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Beliau langsung berguru selama bertahun-tahun. Diantara guru-gurunya adalah Imam Ahmad bin Hambal, al-Qa’nabi, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Sulaiman bin Harb, Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain.
Sebagai ahli hukum, Abu Dawud pernah berkata: Cukuplah manusia dengan empat hadist, yaitu: Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya; termasuk kebagusan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat; tidaklah keadaan seorang mukmin itu menjadi mukmin, hingga ia ridho terhadap saudaranya apa yang ia ridho terhadap dirinya sendiri; yang halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas pula, sedangkan diantara keduanya adalah syubhat.
Beliau menciptakan karya-karya yang bermutu, baik dalam bidang fiqh, ushul,tauhid dan terutama hadits. Kitab sunan beliaulah yang paling banyak menarik perhatian, dan merupakan salah satu diantara kompilasi hadits hukum yang paling menonjol saat ini. Tentang kualitasnya ini Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: Kitab sunannya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats as-sijistani rahimahullah adalah kitab Islam yang topiknya tersebut Allah telah mengkhususkan dia dengan sunannya, di dalam banyak pembahasan yang bisa menjadi hukum diantara ahli Islam, maka kepadanya hendaklah para mushannif mengambil hukum, kepadanya hendaklah para muhaqqiq merasa ridho, karena sesungguhnya ia telah mengumpulkan sejumlah hadits ahkam, dan menyusunnya dengan sebagus-bagus susunan, serta mengaturnya dengan sebaik-baik aturan bersama dengan kerapnya kehati-hatian sikapnya dengan membuang sejumlah hadits dari para perawi majruhin dan dhu’afa. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas mereka dan mem- berikannya pula atas para pelanjutnya.
Friday, January 29, 2010
Download Audio: Biografi Imam Bukhari
Al-Imam Bukhari Rohimahullah Seorang ahli hadits yang sangant masyhur di seluruh dunia. kitab-kitabnya menjadi rujukan para ulama.
karya terbaik yang sangant terkenal kitab shahih setelah Al-Quran
Yaitu Shahih Bukhari, dan masih banyak lagi karya beliau yang sangat terkenal.
Yang sangat faham tentang dinullah.
Disni Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat Hafizahullah akan menerangkat tentang biografi Imam Bukhari Rohimahullah yang sangat hebat.
Dan antum semua bisa mendownloadnya.
1. Biografi Imam Bukhari 1 ( 73:20 16 kbps 11 kHz 8.80 Mb )
2. Biografi Imam Bukhari 2 ( 46:38 16 kbps 11 kHz 5.60 Mb )
Sumber: http://www.kajian.net
karya terbaik yang sangant terkenal kitab shahih setelah Al-Quran
Yaitu Shahih Bukhari, dan masih banyak lagi karya beliau yang sangat terkenal.
Yang sangat faham tentang dinullah.
Disni Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat Hafizahullah akan menerangkat tentang biografi Imam Bukhari Rohimahullah yang sangat hebat.
Dan antum semua bisa mendownloadnya.
1. Biografi Imam Bukhari 1 ( 73:20 16 kbps 11 kHz 8.80 Mb )
2. Biografi Imam Bukhari 2 ( 46:38 16 kbps 11 kHz 5.60 Mb )
Sumber: http://www.kajian.net
Latar Belakang Munculnya Bid'ah
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid'ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : "Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut".
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid'ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid'ah-bid'ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir. Perinciannya sebagai berikut.
[1]. Bodoh Terhadap Hukum-Hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :
"Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan". [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].
Dan dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam juga :
"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan".
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid'ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.
[2]. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun". [Al-Qashshash : 50].
Dan Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)". [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid'ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.
[3]. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-Orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka : 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'. Mereka menajwab : '(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". [Al-Baqarah : 170].
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
[4]. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid'ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.
"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :" Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa 'Alaihi Sallam :
"Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". [Al-A'raf : 138]
Lalu Musa bersabda : "Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu".
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta'ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid'ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid'ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.
[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan hal. 59 - 65, penerjemah Endang Saefuddin]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=450&bagian=0
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid'ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : "Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut".
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid'ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid'ah-bid'ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir. Perinciannya sebagai berikut.
[1]. Bodoh Terhadap Hukum-Hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :
"Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan". [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].
Dan dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam juga :
"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan".
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid'ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.
[2]. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun". [Al-Qashshash : 50].
Dan Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)". [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid'ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.
[3]. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-Orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka : 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'. Mereka menajwab : '(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". [Al-Baqarah : 170].
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
[4]. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid'ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.
"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :" Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa 'Alaihi Sallam :
"Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". [Al-A'raf : 138]
Lalu Musa bersabda : "Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu".
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta'ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid'ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid'ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.
[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan hal. 59 - 65, penerjemah Endang Saefuddin]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=450&bagian=0
Thursday, January 28, 2010
Biografi Ibnu Majah
Nama sebenarnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Ia melakukan perjalanan ke berbagai kota untuk menulis hadits, anatara lain Ray, Basrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir dan Hijaz.
Ia menerima hadit dari guru gurunya antara lain Ibn Syaibah, Sahabatnya Malik dan al-Laits. Abu Ya’la berkata,” Ibnu Majah seorang ahli ilmu hadits dan mempunyai banyak kitab”.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
Ibnu Katsir berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.
Al-Imam al-Bushiri (w. 840) menulis ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud yang tidak terdapat di dalam kitabul khomsah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi) sebanyak 1552 hadits di dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah serta menunjukkan derajat shahih, hasan, dhaif maupun maudhu’. Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits-hadits di dalamnya amatlah urgen dan penting.
Ia wafat pada tahun 273 H
Disalin dari riwayat Ibnu Majah dalam Tarikh Ibnu Katsir 11: 66,67
Ia melakukan perjalanan ke berbagai kota untuk menulis hadits, anatara lain Ray, Basrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir dan Hijaz.
Ia menerima hadit dari guru gurunya antara lain Ibn Syaibah, Sahabatnya Malik dan al-Laits. Abu Ya’la berkata,” Ibnu Majah seorang ahli ilmu hadits dan mempunyai banyak kitab”.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
Ibnu Katsir berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.
Al-Imam al-Bushiri (w. 840) menulis ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud yang tidak terdapat di dalam kitabul khomsah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi) sebanyak 1552 hadits di dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah serta menunjukkan derajat shahih, hasan, dhaif maupun maudhu’. Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits-hadits di dalamnya amatlah urgen dan penting.
Ia wafat pada tahun 273 H
Disalin dari riwayat Ibnu Majah dalam Tarikh Ibnu Katsir 11: 66,67
Wednesday, January 27, 2010
Download Audio: Sifat Shalat Nabi
Judul Audio: Sifat Sholat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Dari Takbir Sampai Salam
Pemateri: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sumber: http://www.kajian.net
rujukan Buku: Sifat Sholat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rohimahullah, Bulugul Marom
Jumlah file: 8 File
Sudah menjadi keharusan bagi semua kaum muslimin mengetahui cara ibadah terutama ibadah shalat yang benar menurut Qur'an dan Sunnah.
Shalat merupakan kewajiban utama bagi setiap muslim yang dengannya merupakan pembeda seorang muslim dengan orang kafir sebagaimana yang secara shahih diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena itu, menjadi wajib pula bagi setiap muslim untuk memcari ilmu, bagaimana melakukan shalat yang benar.
Dan syarat sahnya shalat ada 2
1. Ikhlas hanya kepada allah 'aza wa jalla kita beribadah
2. Mengikuti petunjuk Rasulallahu salallahu alaihi wasalam.
Ustadz menjelasan kepada kita tentang tata cara shalat dari takbir sampai salam dan termasuk doa, dzikir shalat.
Bagi yang berminat ingin mendownloadnya
silahkan download disini.
Sifat Shalat Nabi 02 (31:08 32 kbps 16 kHz 7.47 Mb)
Sifat Shalat Nabi 03 (31:05 32 kbps 16 kHz 7.46 Mb)
Sifat Shalat Nabi 04 (6:37 32 kbps 16 kHz 1.59 Mb)
Sifat Shalat Nabi 05 (46:37 32 kbps 16 kHz 11.19 M)
Sifat Shalat Nabi 06 (46:39 32 kbps 16 kHz 11.20 Mb)
Sifat Shalat Nabi 07 (47:00 32 kbps 16 kHz 11.28 Mb)
Sifat Shalat Nabi 08 (46:46 32 kbps 16 kHz 11.23 Mb)
Pemateri: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sumber: http://www.kajian.net
rujukan Buku: Sifat Sholat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rohimahullah, Bulugul Marom
Jumlah file: 8 File
Sudah menjadi keharusan bagi semua kaum muslimin mengetahui cara ibadah terutama ibadah shalat yang benar menurut Qur'an dan Sunnah.
Shalat merupakan kewajiban utama bagi setiap muslim yang dengannya merupakan pembeda seorang muslim dengan orang kafir sebagaimana yang secara shahih diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena itu, menjadi wajib pula bagi setiap muslim untuk memcari ilmu, bagaimana melakukan shalat yang benar.
Dan syarat sahnya shalat ada 2
1. Ikhlas hanya kepada allah 'aza wa jalla kita beribadah
2. Mengikuti petunjuk Rasulallahu salallahu alaihi wasalam.
Ustadz menjelasan kepada kita tentang tata cara shalat dari takbir sampai salam dan termasuk doa, dzikir shalat.
Bagi yang berminat ingin mendownloadnya
silahkan download disini.
Sifat Shalat Nabi 02 (31:08 32 kbps 16 kHz 7.47 Mb)
Sifat Shalat Nabi 03 (31:05 32 kbps 16 kHz 7.46 Mb)
Sifat Shalat Nabi 04 (6:37 32 kbps 16 kHz 1.59 Mb)
Sifat Shalat Nabi 05 (46:37 32 kbps 16 kHz 11.19 M)
Sifat Shalat Nabi 06 (46:39 32 kbps 16 kHz 11.20 Mb)
Sifat Shalat Nabi 07 (47:00 32 kbps 16 kHz 11.28 Mb)
Sifat Shalat Nabi 08 (46:46 32 kbps 16 kHz 11.23 Mb)
Hukum Merayakan Ulang Tahun Anak
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid’ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
“Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka�.
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari ‘Ied, maka beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha�
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka�
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan umurmu� kecuali dengan keterangan ‘ Dalam ketaatanNya� atau “Dalam kebaikan� atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk –semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh� [Al-A’raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan� [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1584&bagian=0
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid’ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
“Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka�.
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari ‘Ied, maka beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha�
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka�
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan umurmu� kecuali dengan keterangan ‘ Dalam ketaatanNya� atau “Dalam kebaikan� atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk –semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh� [Al-A’raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan� [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1584&bagian=0
Monday, January 25, 2010
Download Video: Tanya Jawab (Syaikh Ali Hasan Al Halabi)
Membangun dan Memakmurkan Masjid Menurut Kaidah Islam
adalah tema yang akan di tanya oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi.
Banyak sekarang orang yang menafsirkan memakmurkan masjid dengan membangun semegah mungkin padahal tidak hanya itu yang dimaksud dengan memakmurkan masjid menurut kaidah islam.
di sini Syaikh akan menjelaskan apa yang di maksud dengan memakmurkan masjid menurut islam.
(alhamdulillah video ini sudah di terjemahkan kedalam bahasa indonesia)
Silahkan klik icon donwload di bawah ini...
Download Video: ”Bimbingan Manasik Haji & Umroh”
Berikut adalah rekaman video yang di sampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah. dari pembahasan materi ”Bimbingan Manasik Haji dan Umrah”.
menurut Qur'an dan Sunnah
Alhamdulillah sudah di terjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Untuk download silakan klik icon download dibawah ini,
Semoga bermanfaat…
UPDATE
Link di atas sudah tidak bisa di download lagi
silahkan download link di bawah ini
Sunday, January 24, 2010
Waktu-waktu Yang Terlarang Untuk Shalat
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi, 2.Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat, 3.Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
-Dan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi rahimahullahu berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata setelah membawakan ucapan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm rahimahullahu–; ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh. Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang pada babnya. Ibnu Hazm rahimahullahu dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari, 2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya, yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.) bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal (masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ: شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat setelah ashar dan mengatakan, ‘Orang-orang dari Abdul Qais menyibukkan aku dari mengerjakan shalat sunnah dua raka’at setelah zuhur’.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitush Shalah, bab Ma Yushalla ba’dal ‘Ashri minal Fawait wa Nahwiha)
2 Pendapat inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dikuti dari http://asysyariah.com Penulis : Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari Judul: Waktu-waktu yang Terlarang untuk Shalat
-Dan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi rahimahullahu berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata setelah membawakan ucapan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm rahimahullahu–; ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh. Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang pada babnya. Ibnu Hazm rahimahullahu dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari, 2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya, yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.) bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal (masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ: شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat setelah ashar dan mengatakan, ‘Orang-orang dari Abdul Qais menyibukkan aku dari mengerjakan shalat sunnah dua raka’at setelah zuhur’.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitush Shalah, bab Ma Yushalla ba’dal ‘Ashri minal Fawait wa Nahwiha)
2 Pendapat inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dikuti dari http://asysyariah.com Penulis : Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari Judul: Waktu-waktu yang Terlarang untuk Shalat
Hukum Menonton SEPAK BOLA di Televisi?
Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rohimahulloh
Pertanyaan:
Apa hukum menonton sepak bola yang ditayangkan di televisi?
Jawaban :
Saya memandang bahwa menyaksikan permainan-permainan yang ditayangkan di televisi atau yang lainnya dari berbagai tayangan adalah menyia-nyiakan waktu.
Dan sesungguhnya seorang manusia yang berakal, dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya dengan perkara-perkara seperti ini yang tidak mendatangkan faedah sama sekali.
Ini jika dia selamat dari kerusakan lainnya. Dan jika terdapat bersamanya kerusakan yang lain,yang akan menumbuhkan dalam hati penontonnya yang bersenang-senang tersebut perasaan bangga kepada pemain yang kafir, maka ini tidak meragukan lagi adalah perbuatan haram,sebab kita tidak boleh sama sekali memuliakan orang kafir, apapun yang dia dapatkan dari kemajuan, sesungguhnya tidak boleh sama sekali kita memuliakan mereka. Ataukah pada pertandingan-pertandingan tersebut telah Nampak padanya paha-paha para pemuda yang dapat menimbulkan fitnah,bahkan menurut pendapat yang mengatakan bahwa paha bukan termasuk aurat, maka saya tidak mengatakan bahwa para pemuda boleh menampakkan pahanya sama sekali, Adapun kalau kita menyatakan bahwa Paha termasuk aurat, sebagaimana yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad,maka perkaranya lebih jelas lagi bahwa hal tersebut tidak boleh.
Yang jelas,yang aku nasehatkan kepada saudara-saudaraku agar mereka semangat untuk menjaga waktu-waktunya,karena sesungguhnya waktu itu lebih mahal dari harta.apakah kalian tidak membaca firman Allah Ta’ala:
(حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ )
“sehingga apabila telah datang kematian ke salah seorang dari mereka,maka ia berkata: kembalikanlah aku.Semoga aku bisa kembali beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan”.
Dia tidak mengatakan: kembalikan aku agar aku dapat bersenang-senang dengan dunia,namun dia mengatakan “semoga aku dapat beramal saleh terhadap apa yang aku tinggalkan,untuk menggantikan waktu yang telah ia lewati sebelum mati.
حكم مشاهدة كرة القدم
السؤال: ما حكم رؤية مباراة كرة القدم التي تعرض في التلفاز؟
الجواب: الذي أرى أن مشاهدة الألعاب التي تعرض في التلفاز أو في غيره من المشاهدات أنها مضيعة للوقت وأن الإنسان العاقل الحاذق لا يضيع وقته بمثل هذه الأمور التي لا تعود إليه بفائدة إطلاقا,هذا إن سلمت من شر آخر ,فإن اقترن بها شر آخر بحيث يقوم في قلب متفرج تعظيم اللاعب الكافر مثلا فإن هذا حرام بلا شك,لأنه لا يجوز لنا أن نعظم الكفار أبدا مهما حصل له من التقدم فإنه لا يجوز لنا أن نعظمهم ,أو كانت هذه المبارات قد ظهرت فيها أفخاذ شباب يحصل بها الفتنة.فإن الراجح عندي أنه لا يجوز لشباب حين لعب الكرة أن يخرجوا أفخاذه لما في ذلك من الفتنة حتى على القول بأن الفخذ ليس بعورة فلا أرى أن الشباب يخرج فخذه أبدا .أما إذا قلنا بأن الفخذ عورة كما هو المشهور من مذهب الإمام أحمد فالأمر فيها واضح أنه لا يجوز على كل حال.فالذي أنصح به إخواننا أن يحرصوا على أوقاتهم فإن الأوقات أغلى من الأموال,ألم تقرؤوا قول الله تعالى:
(حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ )
لم يقل: ارجعون لأتمتع بالدنيا ولكن يقول: لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ بدلا من الوقت الضائع الذي أمضاه قبل أن يموت,
(قتوى ابن عثيمين)
Sumber: Darussalaf.or.id dinukil dari http://ibnulqoyyim.com Judul Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rohimahulloh
Pertanyaan:
Apa hukum menonton sepak bola yang ditayangkan di televisi?
Jawaban :
Saya memandang bahwa menyaksikan permainan-permainan yang ditayangkan di televisi atau yang lainnya dari berbagai tayangan adalah menyia-nyiakan waktu.
Dan sesungguhnya seorang manusia yang berakal, dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya dengan perkara-perkara seperti ini yang tidak mendatangkan faedah sama sekali.
Ini jika dia selamat dari kerusakan lainnya. Dan jika terdapat bersamanya kerusakan yang lain,yang akan menumbuhkan dalam hati penontonnya yang bersenang-senang tersebut perasaan bangga kepada pemain yang kafir, maka ini tidak meragukan lagi adalah perbuatan haram,sebab kita tidak boleh sama sekali memuliakan orang kafir, apapun yang dia dapatkan dari kemajuan, sesungguhnya tidak boleh sama sekali kita memuliakan mereka. Ataukah pada pertandingan-pertandingan tersebut telah Nampak padanya paha-paha para pemuda yang dapat menimbulkan fitnah,bahkan menurut pendapat yang mengatakan bahwa paha bukan termasuk aurat, maka saya tidak mengatakan bahwa para pemuda boleh menampakkan pahanya sama sekali, Adapun kalau kita menyatakan bahwa Paha termasuk aurat, sebagaimana yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad,maka perkaranya lebih jelas lagi bahwa hal tersebut tidak boleh.
Yang jelas,yang aku nasehatkan kepada saudara-saudaraku agar mereka semangat untuk menjaga waktu-waktunya,karena sesungguhnya waktu itu lebih mahal dari harta.apakah kalian tidak membaca firman Allah Ta’ala:
(حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ )
“sehingga apabila telah datang kematian ke salah seorang dari mereka,maka ia berkata: kembalikanlah aku.Semoga aku bisa kembali beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan”.
Dia tidak mengatakan: kembalikan aku agar aku dapat bersenang-senang dengan dunia,namun dia mengatakan “semoga aku dapat beramal saleh terhadap apa yang aku tinggalkan,untuk menggantikan waktu yang telah ia lewati sebelum mati.
حكم مشاهدة كرة القدم
السؤال: ما حكم رؤية مباراة كرة القدم التي تعرض في التلفاز؟
الجواب: الذي أرى أن مشاهدة الألعاب التي تعرض في التلفاز أو في غيره من المشاهدات أنها مضيعة للوقت وأن الإنسان العاقل الحاذق لا يضيع وقته بمثل هذه الأمور التي لا تعود إليه بفائدة إطلاقا,هذا إن سلمت من شر آخر ,فإن اقترن بها شر آخر بحيث يقوم في قلب متفرج تعظيم اللاعب الكافر مثلا فإن هذا حرام بلا شك,لأنه لا يجوز لنا أن نعظم الكفار أبدا مهما حصل له من التقدم فإنه لا يجوز لنا أن نعظمهم ,أو كانت هذه المبارات قد ظهرت فيها أفخاذ شباب يحصل بها الفتنة.فإن الراجح عندي أنه لا يجوز لشباب حين لعب الكرة أن يخرجوا أفخاذه لما في ذلك من الفتنة حتى على القول بأن الفخذ ليس بعورة فلا أرى أن الشباب يخرج فخذه أبدا .أما إذا قلنا بأن الفخذ عورة كما هو المشهور من مذهب الإمام أحمد فالأمر فيها واضح أنه لا يجوز على كل حال.فالذي أنصح به إخواننا أن يحرصوا على أوقاتهم فإن الأوقات أغلى من الأموال,ألم تقرؤوا قول الله تعالى:
(حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ )
لم يقل: ارجعون لأتمتع بالدنيا ولكن يقول: لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ بدلا من الوقت الضائع الذي أمضاه قبل أن يموت,
(قتوى ابن عثيمين)
Sumber: Darussalaf.or.id dinukil dari http://ibnulqoyyim.com Judul Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rohimahulloh
Saturday, January 23, 2010
Doa Pergi, Masuk, dan keluar Masjid
19- اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قَلْبِيْ نُوْرًا، وَفِيْ لِسَانِيْ نُوْرًا، وَفِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا، وَفِيْ بَصَرِيْ نُوْرًا، وَمِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا، وَمِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا، وَعَنْ يَمِيْنِيْ نُوْرًا، وَعَنْ شَمَالِيْ نُوْرًا، وَمِنْ أَمَامِيْ نُوْرًا، وَمِنْ خَلْفِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ نَفْسِيْ نُوْرًا، وَأَعْظِمْ لِيْ نُوْرًا، وَعَظِّمْ لِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ لِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْنِيْ نُوْرًا، اَللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ عَصَبِيْ نُوْرًا، وَفِيْ لَحْمِيْ نُوْرًا، وَفِيْ دَمِيْ نُوْرًا، وَفِيْ شَعْرِيْ نُوْرًا، وَفِيْ بَشَرِيْ نُوْرًا. [اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِيْ نُوْرًا فِيْ قَبْرِيْ … ونُوْرًا فِيْ عِظَامِيْ ] [وَزِدْنِيْ نُوْرًا، وَزِدْنِيْ نُوْرًا، وَزِدْنِيْ نُوْرًا] [وَهَبْ لِيْ نُوْرًا عَلَى نُوْرٍ].
19. “Ya Allah ciptakanlah cahaya di hatiku, cahaya di lidahku, cahaya di pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya dari atasku, cahaya dari bawahku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya dari depanku, dan cahaya dari belakangku. Ciptakanlah cahaya dalam diriku, perbesarlah cahaya untukku, agungkanlah cahaya untukku, berilah cahaya untukku, dan jadikanlah aku sebagai cahaya. Ya Allah, berilah cahaya kepadaku, ciptakan cahaya pada urat sarafku, cahaya dalam dagingku, cahaya dalam darahku, cahaya di rambutku, dan cahaya di kulitku” [28] [Ya Allah, ciptakanlah cahaya untukku dalam kuburku … dan cahaya dalam tulangku”] [29], [“Tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku”] [30], [“dan karuniakanlah bagiku cahaya di atas cahaya”] [31]
---------------------------------
[28] Hal ini semuanya disebutkan dalam Al-Bukhari 11/116 no.6316, dan Muslim 1/526, 529, 530, no. 763.
[29] HR. At-Tirmidzi no.3419, 5/483.
[30] HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 695, hal.258. Al-Albani menyatakan isnadnya shahih, dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 536.
[31] Disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, dengan menisbatkannya kepada Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab Ad-Du’a. Lihat Fathul Bari 11/118. Katanya: “Dari berbagai macam riwayat, maka terkumpullah sebanyak dua puluh lima pekerti”.
--------------------------------------------------------------------------------
13- DOA MASUK MASJID
20- أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، [بِسْمِ اللهِ، وَالصَّلاَةُ][وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ] اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
20. “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajahNya Yang Mulia dan kekuasaanNya yang abadi, dari setan yang terkutuk. [32] Dengan nama Allah dan semoga shalawat [33] dan salam tercurahkan kepada Rasulullah [34] Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmatMu untukku.” [35]
---------------------------------
[32] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami’ no.4591.
[33] HR. Ibnu As-Sunni no.88, dinyatakan Al-Albani “hasan”.
[34] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami’ 1/528.
[35] HR. Muslim 1/494. Dalam Sunan Ibnu Majah, dari hadits Fathimah x “Allahummagh fir li dzunubi waftahli abwaba rahmatik”, Al-Albani menshahihkannya karena beberapa shahid. Lihat Shahih Ibnu Majah 1/128-129.
--------------------------------------------------------------------------------
14- DOA KELUAR DARI MASJID
21- بِسْمِ اللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ، اَللَّهُمَّ اعْصِمْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
21. “Dengan nama Allah, semoga sha-lawat dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepadaMu dari karuniaMu. Ya Allah, peliharalah aku dari godaan setan yang terkutuk”. [36]
---------------------------------
[36] Tambahan: Allaahumma’shimni minasy syai-thaanir rajim, adalah riwayat Ibnu Majah. Lihat Shahih Ibnu Majah 129.
19. “Ya Allah ciptakanlah cahaya di hatiku, cahaya di lidahku, cahaya di pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya dari atasku, cahaya dari bawahku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya dari depanku, dan cahaya dari belakangku. Ciptakanlah cahaya dalam diriku, perbesarlah cahaya untukku, agungkanlah cahaya untukku, berilah cahaya untukku, dan jadikanlah aku sebagai cahaya. Ya Allah, berilah cahaya kepadaku, ciptakan cahaya pada urat sarafku, cahaya dalam dagingku, cahaya dalam darahku, cahaya di rambutku, dan cahaya di kulitku” [28] [Ya Allah, ciptakanlah cahaya untukku dalam kuburku … dan cahaya dalam tulangku”] [29], [“Tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku”] [30], [“dan karuniakanlah bagiku cahaya di atas cahaya”] [31]
---------------------------------
[28] Hal ini semuanya disebutkan dalam Al-Bukhari 11/116 no.6316, dan Muslim 1/526, 529, 530, no. 763.
[29] HR. At-Tirmidzi no.3419, 5/483.
[30] HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 695, hal.258. Al-Albani menyatakan isnadnya shahih, dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 536.
[31] Disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, dengan menisbatkannya kepada Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab Ad-Du’a. Lihat Fathul Bari 11/118. Katanya: “Dari berbagai macam riwayat, maka terkumpullah sebanyak dua puluh lima pekerti”.
--------------------------------------------------------------------------------
13- DOA MASUK MASJID
20- أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، [بِسْمِ اللهِ، وَالصَّلاَةُ][وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ] اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
20. “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajahNya Yang Mulia dan kekuasaanNya yang abadi, dari setan yang terkutuk. [32] Dengan nama Allah dan semoga shalawat [33] dan salam tercurahkan kepada Rasulullah [34] Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmatMu untukku.” [35]
---------------------------------
[32] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami’ no.4591.
[33] HR. Ibnu As-Sunni no.88, dinyatakan Al-Albani “hasan”.
[34] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami’ 1/528.
[35] HR. Muslim 1/494. Dalam Sunan Ibnu Majah, dari hadits Fathimah x “Allahummagh fir li dzunubi waftahli abwaba rahmatik”, Al-Albani menshahihkannya karena beberapa shahid. Lihat Shahih Ibnu Majah 1/128-129.
--------------------------------------------------------------------------------
14- DOA KELUAR DARI MASJID
21- بِسْمِ اللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ، اَللَّهُمَّ اعْصِمْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
21. “Dengan nama Allah, semoga sha-lawat dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepadaMu dari karuniaMu. Ya Allah, peliharalah aku dari godaan setan yang terkutuk”. [36]
---------------------------------
[36] Tambahan: Allaahumma’shimni minasy syai-thaanir rajim, adalah riwayat Ibnu Majah. Lihat Shahih Ibnu Majah 129.
Sunnah-Sunnah Dalam Adzan Dan Iqomah
Oleh
Syaikh Khalid al Husainan
Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan adzan ada lima: seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.
[1]. Sunnah Bagi Orang Yang Mendengar Adzan Untuk Menirukan Apa Yang Diucapkan Muadzin Kecuali Dalam lLfadz.
"Hayya 'alash-shollaah, Hayya 'alash-shollaah"
Maka ketika mendengar lafadz itu maka dijawab dengan lafad.
"Laa hawla walaa quwwata illa billahi"
“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah "[HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 385.]
Faedah Dari Sunnah Tersebut
‘Sesungguhnya (sunnah tersebut (yaitu menjawab adzan) akan menjadi sebab engkau masuk surga, seperti dalil yang tercantum dalam Shahih Muslim (no. 385. Pent)
[2]. Setelah Muadzin Selesai Mengumandangnkan Adzan, Maka Yang Mendengarnya Mengucapkan [1]
“Dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya. Aku ridho kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama(ku) dan Muhammad sebagai Rasul� [HR. Muslim 1/240 no. 386]
Faedah Dari Sunnah Tersebut
Dosa-dosa akan diampuni sebagaimana apa yang terkandung dalam makna hadits itu sendiri.
[3]. Membaca Shalawat Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa salam setelah selesai menjawab adzan dari muadzin dan menyempurnakan shalawatnya dengan membaca shalawat Ibrahimiyyah dan tidak ada shalawat yang lebih lengkap dari shalawat tersebut.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Apabila kalian mendengar muadzin maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya lalu bershalawatlah untukku karena sesungguhnya orang yang bershalawat untukku satu kali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali" [HR. Muslim 1/288 no. 384)]
Faedah Dari Sunnah Tersebut
Sesungguhnya Allah bershalawat atas hambaNya 10 kali
Makna bahwasanya Allah bershalawat atas hambaNya adalah Allah memuji hambaNya di hadapan para malaikat.
Sedangkan shalawat Ibrahimiyah adalah :
“Artinya : Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahamulia. Berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahamulia.� [HR. Bukhari dalam Fathul Baari 6/408, 4/118, 6/27; Muslim 2/16, Ibnu Majah no. 904 dan Ahmad 4/243-244 dan lain-lain dari Ka’ab bin Ujrah]
[4]. Mengucapkan Doa Adzan Setelah Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Ã"Artinya :Ya Allah, Tuhan Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang didirikan. Berilah al-Wasilah (derajat di Surga), dan al-fadhilah kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallm. Dan bangkitkan beliau sehingga bisa menempati kedudukan terpuji yang Engkau janjikan.� [HR. Bukhary no. 614, Abu Dawud no. 529, At-Tirmidzi no. 211, an-Nasaa’I 2/26-27. Ibnu Majah no. 722). adapun tambahan "Sesungguhnya Engkau Tidak pernah menyalahi janji" Ttidak boleh diamalkan karena sanadnya lemah. Lihat Irwa’ul Ghalil 1/260,261]
Faedah Dari Doa Tersebut
Barangsiapa yang mengucapkannya (doa tersebut) maka dia akan memperoleh syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
[5]. Berdoa Untuk Dirinya Sendiri, Dan Meminta Karunia Allah Karena Allah Pasti Mengabulkan Permintaannya.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
“Artinya : Ucapkanlah seperti apa yang mereka (para muadzdzin) ucapkan dan jika engkau telah selesai, mohonlah kepadaNya, niscaya permohonanmu akan diberikan.� [Lihat Shahihul Wabili Shayyib oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, hal: 183]
Apabila sunnah-sunnah ketika mendengar adzan dikumpulkan, maka seorang muslim telah melaksanakannya sebanyak 25 sunnah.
SUNNAH-SUNNAH DALAM IQAMAH
Sunnah-sunnah saat iqamah sama dengan sunnah-sunnah pada adzan yaitu pada empat point yang pertama. Hal ini sesuai dengan Fatawa Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’. Apabila dijumlah secara keseluruhan terdapat 20 sunnah iqamah pada setiap shalat wajib.
Faidah :
Merupakan sunnah bagi yang mendengar iqomah untuk menirukan orang yang iqamah kecuali pada lafadz
"Hayya 'alash-shollaah, Hayya 'alash-shollaah"
Ketika mendengar lafadz itu, dijawab dengan lafadz
"Laa hawla walaa quwwata illa billahi"
“Artinya : Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" [HR. Muslim no. 385.]
Kemudian ketika ucapan
"Qod qoomatish shalah"
Hendaknya menirukannya dan tidak boleh mengucapkan
"Aqoomahaa Allahu wa adaamaha"
Karena ucapan itu berdasarkan hadits yang dhaif"
[Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’]
[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
_________
Foote Note
[1]. Ada yang berpendapat, dibaca sesudah muadzdzin membaca syahadat. Lihat Ats-Tsamarul Musthaahb fii Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal. 172-185 oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1488&bagian=0
Syaikh Khalid al Husainan
Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan adzan ada lima: seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.
[1]. Sunnah Bagi Orang Yang Mendengar Adzan Untuk Menirukan Apa Yang Diucapkan Muadzin Kecuali Dalam lLfadz.
"Hayya 'alash-shollaah, Hayya 'alash-shollaah"
Maka ketika mendengar lafadz itu maka dijawab dengan lafad.
"Laa hawla walaa quwwata illa billahi"
“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah "[HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 385.]
Faedah Dari Sunnah Tersebut
‘Sesungguhnya (sunnah tersebut (yaitu menjawab adzan) akan menjadi sebab engkau masuk surga, seperti dalil yang tercantum dalam Shahih Muslim (no. 385. Pent)
[2]. Setelah Muadzin Selesai Mengumandangnkan Adzan, Maka Yang Mendengarnya Mengucapkan [1]
“Dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya. Aku ridho kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama(ku) dan Muhammad sebagai Rasul� [HR. Muslim 1/240 no. 386]
Faedah Dari Sunnah Tersebut
Dosa-dosa akan diampuni sebagaimana apa yang terkandung dalam makna hadits itu sendiri.
[3]. Membaca Shalawat Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa salam setelah selesai menjawab adzan dari muadzin dan menyempurnakan shalawatnya dengan membaca shalawat Ibrahimiyyah dan tidak ada shalawat yang lebih lengkap dari shalawat tersebut.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Apabila kalian mendengar muadzin maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya lalu bershalawatlah untukku karena sesungguhnya orang yang bershalawat untukku satu kali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali" [HR. Muslim 1/288 no. 384)]
Faedah Dari Sunnah Tersebut
Sesungguhnya Allah bershalawat atas hambaNya 10 kali
Makna bahwasanya Allah bershalawat atas hambaNya adalah Allah memuji hambaNya di hadapan para malaikat.
Sedangkan shalawat Ibrahimiyah adalah :
“Artinya : Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahamulia. Berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahamulia.� [HR. Bukhari dalam Fathul Baari 6/408, 4/118, 6/27; Muslim 2/16, Ibnu Majah no. 904 dan Ahmad 4/243-244 dan lain-lain dari Ka’ab bin Ujrah]
[4]. Mengucapkan Doa Adzan Setelah Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Ã"Artinya :Ya Allah, Tuhan Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang didirikan. Berilah al-Wasilah (derajat di Surga), dan al-fadhilah kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallm. Dan bangkitkan beliau sehingga bisa menempati kedudukan terpuji yang Engkau janjikan.� [HR. Bukhary no. 614, Abu Dawud no. 529, At-Tirmidzi no. 211, an-Nasaa’I 2/26-27. Ibnu Majah no. 722). adapun tambahan "Sesungguhnya Engkau Tidak pernah menyalahi janji" Ttidak boleh diamalkan karena sanadnya lemah. Lihat Irwa’ul Ghalil 1/260,261]
Faedah Dari Doa Tersebut
Barangsiapa yang mengucapkannya (doa tersebut) maka dia akan memperoleh syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
[5]. Berdoa Untuk Dirinya Sendiri, Dan Meminta Karunia Allah Karena Allah Pasti Mengabulkan Permintaannya.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
“Artinya : Ucapkanlah seperti apa yang mereka (para muadzdzin) ucapkan dan jika engkau telah selesai, mohonlah kepadaNya, niscaya permohonanmu akan diberikan.� [Lihat Shahihul Wabili Shayyib oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, hal: 183]
Apabila sunnah-sunnah ketika mendengar adzan dikumpulkan, maka seorang muslim telah melaksanakannya sebanyak 25 sunnah.
SUNNAH-SUNNAH DALAM IQAMAH
Sunnah-sunnah saat iqamah sama dengan sunnah-sunnah pada adzan yaitu pada empat point yang pertama. Hal ini sesuai dengan Fatawa Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’. Apabila dijumlah secara keseluruhan terdapat 20 sunnah iqamah pada setiap shalat wajib.
Faidah :
Merupakan sunnah bagi yang mendengar iqomah untuk menirukan orang yang iqamah kecuali pada lafadz
"Hayya 'alash-shollaah, Hayya 'alash-shollaah"
Ketika mendengar lafadz itu, dijawab dengan lafadz
"Laa hawla walaa quwwata illa billahi"
“Artinya : Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" [HR. Muslim no. 385.]
Kemudian ketika ucapan
"Qod qoomatish shalah"
Hendaknya menirukannya dan tidak boleh mengucapkan
"Aqoomahaa Allahu wa adaamaha"
Karena ucapan itu berdasarkan hadits yang dhaif"
[Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’]
[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
_________
Foote Note
[1]. Ada yang berpendapat, dibaca sesudah muadzdzin membaca syahadat. Lihat Ats-Tsamarul Musthaahb fii Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal. 172-185 oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1488&bagian=0
Friday, January 22, 2010
Bolehkah Buang Air Kecil [Kencing] Sambil Berdiri ?
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri, bagaimana mengkompromikannya ?"
Jawaban.
Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik riwayat Aisyah ataupun yang lain.
Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :
"Artinya : Janganlah engkau kencing berdiri".
Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri.
Kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.
"Artinya : Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya)".
Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau ketahui saja.
Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air kecil sambil berdiri.
Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : "Jika bertentangan dua nash ; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menafikan.
Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?
Tidak ada aturan dalam syari'at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar'i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan.
"Maksudnya : Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing".
Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.
Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain.
[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
BOLEHKAH BUANG AIR KECIL SAMBIL BERDIRI?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang buang air kecil sambil berdiri ? Perlu diketahui bahwa tidak ada bagian dari tubuh atau pakaian yang terkena najis tersebut ?
Jawaban
Boleh saja buang air kecil sambil berdiri, terutama sekali bila memang diperlukan, selama tempatnya tertetutup dan tidak ada orang yang dapat melihat auratnya, dan tidak ada bagian tubuhnya yang terciprati air seninya. Dasarnya adalah riwayat dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm pernah menuju sebuah tempat sampah milik sekelompok orang, lalu beliau buang air kecil sambil berdiri. Hadits ini disepakati keshahihannya. Akan tetapi yang afdhal tetap buang air kecil dengan duduk. Karena itulah yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain juga lebih dapat menutupi aurat dan lebih jarang terkena cipratan air seni.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baaz I, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdullah, Penerbit At-Tibyan – Solo]
HUKUM TEMPAT KENCING YANG BERGANTUNG
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Di tempat kami bekerja ada tempat kencing yang bergantung. Sebagian teman menggunakannya dengan memakai celana panjang dan kencing sambil berdiri yang tidak menjamin bahwa air urine tidak mengenai celana panjang. Pada suatu hari saya memberi nasehat kepadanya, ia menjawab “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang hal tersebut�. Saya mohon nasehat dan petunjuk.
Jawaban
Boleh bagi seseorang kencing sambil berdiri, apabila bisa terjaga dari percikan air kencing ke badan dan pakaiannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri si suatu saat [1]. Terutama apabila hal tersebut sangat dibutuhkan karena sempitnya pakaiannya atau karena ada penyakit di tubuhnya, namun hukumnya makruh kalau tidak ada kebutuhan.
[Kitab Ad-Da’wah 8, Alu Fauzan 3/46]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ath-Thaharah 224 dan Muslim dalam Ath-Thaharah 273
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1783&bagian=0
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri, bagaimana mengkompromikannya ?"
Jawaban.
Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik riwayat Aisyah ataupun yang lain.
Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :
"Artinya : Janganlah engkau kencing berdiri".
Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri.
Kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.
"Artinya : Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya)".
Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau ketahui saja.
Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air kecil sambil berdiri.
Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : "Jika bertentangan dua nash ; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menafikan.
Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?
Tidak ada aturan dalam syari'at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar'i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan.
"Maksudnya : Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing".
Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.
Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain.
[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
BOLEHKAH BUANG AIR KECIL SAMBIL BERDIRI?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang buang air kecil sambil berdiri ? Perlu diketahui bahwa tidak ada bagian dari tubuh atau pakaian yang terkena najis tersebut ?
Jawaban
Boleh saja buang air kecil sambil berdiri, terutama sekali bila memang diperlukan, selama tempatnya tertetutup dan tidak ada orang yang dapat melihat auratnya, dan tidak ada bagian tubuhnya yang terciprati air seninya. Dasarnya adalah riwayat dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm pernah menuju sebuah tempat sampah milik sekelompok orang, lalu beliau buang air kecil sambil berdiri. Hadits ini disepakati keshahihannya. Akan tetapi yang afdhal tetap buang air kecil dengan duduk. Karena itulah yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain juga lebih dapat menutupi aurat dan lebih jarang terkena cipratan air seni.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baaz I, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdullah, Penerbit At-Tibyan – Solo]
HUKUM TEMPAT KENCING YANG BERGANTUNG
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Di tempat kami bekerja ada tempat kencing yang bergantung. Sebagian teman menggunakannya dengan memakai celana panjang dan kencing sambil berdiri yang tidak menjamin bahwa air urine tidak mengenai celana panjang. Pada suatu hari saya memberi nasehat kepadanya, ia menjawab “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang hal tersebut�. Saya mohon nasehat dan petunjuk.
Jawaban
Boleh bagi seseorang kencing sambil berdiri, apabila bisa terjaga dari percikan air kencing ke badan dan pakaiannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri si suatu saat [1]. Terutama apabila hal tersebut sangat dibutuhkan karena sempitnya pakaiannya atau karena ada penyakit di tubuhnya, namun hukumnya makruh kalau tidak ada kebutuhan.
[Kitab Ad-Da’wah 8, Alu Fauzan 3/46]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ath-Thaharah 224 dan Muslim dalam Ath-Thaharah 273
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1783&bagian=0
Hukum Wanita Memotong Rambut Dan Hukum Mengatur Rambut Dengan Mengikuti Mode
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana hukum wanita memotong rambut?
Jawaban
Hukum memotong rambut bagi wanita tergantung bagaimana niatnya. Jika niatnya untuk menyerupai wanita-wanita kafir atau fasiq, maka tidak boleh. Tapi jika niatnya untuk menyenangkan suami atau untuk meringankan dirinya, menurut saya ini tidak terlarang. Dengan sayarat sesuai dengan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, bahwa istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu memotong rambut mereka hingga sepanjang kuping (tempat anting-anting) telinga.
[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzahullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
HUKUM MENGATUR RAMBUT DENGAN MENGIKUTI MODE
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : "Bolehkah istri saya mengatur rambut dengan cara modern tapi tidak bermaksud untuk mengikuti orang-orang kafir, tapi untuk berhias di hadapan suaminya?. Perlu diketahui bahwa istri saya tersebut -Alhamdulillah- adalah orang yang taat pada agama".
Jawaban.
Yang saya ketahui bahwa mengatur rambut dengan cara itu memakan biaya yang tidak sedikit, sehingga termasuk menyia-nyiakan harta. Yang saya nasehatkan kepada para wanita agar menghindari diri dari kebiasaan semacam itu. Wanita hendaknya berhias untuk suaminya tanpa harus menyia-nyiakan harta. Sesungguhna Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyia-nyiakan harta.
Namun apabila ia pergi ke tukang rambut untuk mengaturnya dengan biaya yang ringan, dengan maksud untuk berhias untuk suaminya, maka perbuatan itu tidak apa-apa.
[Majmu' Durus wa Fatawa Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/237]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal 94-96, Penerbit Darul Haq]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=541&bagian=0
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana hukum wanita memotong rambut?
Jawaban
Hukum memotong rambut bagi wanita tergantung bagaimana niatnya. Jika niatnya untuk menyerupai wanita-wanita kafir atau fasiq, maka tidak boleh. Tapi jika niatnya untuk menyenangkan suami atau untuk meringankan dirinya, menurut saya ini tidak terlarang. Dengan sayarat sesuai dengan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, bahwa istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu memotong rambut mereka hingga sepanjang kuping (tempat anting-anting) telinga.
[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzahullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
HUKUM MENGATUR RAMBUT DENGAN MENGIKUTI MODE
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : "Bolehkah istri saya mengatur rambut dengan cara modern tapi tidak bermaksud untuk mengikuti orang-orang kafir, tapi untuk berhias di hadapan suaminya?. Perlu diketahui bahwa istri saya tersebut -Alhamdulillah- adalah orang yang taat pada agama".
Jawaban.
Yang saya ketahui bahwa mengatur rambut dengan cara itu memakan biaya yang tidak sedikit, sehingga termasuk menyia-nyiakan harta. Yang saya nasehatkan kepada para wanita agar menghindari diri dari kebiasaan semacam itu. Wanita hendaknya berhias untuk suaminya tanpa harus menyia-nyiakan harta. Sesungguhna Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyia-nyiakan harta.
Namun apabila ia pergi ke tukang rambut untuk mengaturnya dengan biaya yang ringan, dengan maksud untuk berhias untuk suaminya, maka perbuatan itu tidak apa-apa.
[Majmu' Durus wa Fatawa Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/237]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal 94-96, Penerbit Darul Haq]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=541&bagian=0
Wednesday, January 20, 2010
Download Suara Azan
Assalamu'alaikum, antum sekalian bisa donwload free azan dari berbagai dunia di belahan dunia. khususnya di negara-negara timur.
Contohnya negara Arab Saudi, Turki, dan masih banyak yang lainnya.
Contohnya negara Arab Saudi, Turki, dan masih banyak yang lainnya.
Azan | Ukuran | Download |
---|---|---|
Adzan, Makkah 1 | 756 kb | Azan Makkah 1 |
Adzan, Makkah 2 | 716 kb | Azan Makkah 2 |
Adzan Subuh, Makkah 1 | 888 kb | Azan Subuh Makkah 1 |
Adzan Subuh, Makkah 2 | 709 kb | Azan Subuh Makkah 2 |
Adzan, Madinah | 668 kb | Azan Madinah |
Adzan, Mesir 1 (wav) | 444 kb | Azan Mesir 1 (wav) |
Adzan, Mesir 2 (wav) | 548 kb | Azan Mesir 2 (wav) |
Adzan Subuh, Mesir (wav) | 598 kb | Azan Subuh Mesir (wav) |
Adzan, Turkey 1 | 1,36 mb | Azan Turkey 1 |
Adzan, Turkey 2 | 1,50 mb | Azan Turkey 2 |
Adzan, UEA | 634 kb | Azan UEA |
Adzan, Syria (wav) | 861 kb | Azan Syria (wav) |
Adzan, Iran | 1,77 mb | Azan Iran |
Adzan, Bosnia | 1,22 mb | Azan Bosnia |
Subscribe to:
Posts (Atom)